Bismillah...
Sahabat,
melalui tulisan ini saya ingin sedikit berbagi ilmu yang saya dapat dari kajian
Tafsir Qur’an bersama Ustadz Mu’inudinillah Basri, Mudzir PP Ibnu Abbas,
Klaten.
Kajian
tafsir ini rutin diadakan setiap senin malam jam 20.00 WIB di masjid Daman,
Mangkuyudan, Solo. Sekalian berbagi informasi nih, bagi sahabat yang berdomisili
disekitar Solo raya bisa ikut mendengarkan lewat radio 92.1 MHFM SOLO (meski
kadang ada gangguan). Bagi yang luar solo, kalau ingin mengikuti bisa streaming
lewat http://mhfmsolo.com/
Pada
kajian senin terakhir kemarin, ada satu bagian dari penjelasan ustadz yang
sangat “menohok” sekali berkaitan dengan HIDAYAH dan TAUBAT. Merurut beliau,
tidak sedikit orang yang menjadikan alasan “hidayah dan takdir” untuk tidak
segera bertaubat kepada Allah atas segala kemaksiatan yang dilakukannya. Sebagai contohnya, orang-orang
yang berkubang dalam kemaksiatan ketika dinasehati untuk meninggalkan
kemaksiatannya berkata, “saat ini Allah memang mentakdirkan saya untuk
melakukan maksiat, jadi jangan menyalahkan saya.” Selain itu ada lagi contoh beberapa muslimah yang ketika
diminta untuk memakai hijab (menutup aurat dengan sempurna) justru malah
mengatakan, “Allah belum memberikan hidayah kepada saya, suatu saat kalau sudah
diberi hidayah saya juga akan memakai”.
Sahabat,
kita berdoa kepada Allah semoga kita tidak termasuk kedalam golongan yang telah
disebutkan dalam ayat 6-7 QS Al Baqarah: “... sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau
tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah
telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka
ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”
Na'udzubillahi min dzalik...
Beberapa
orang mungkin masih tetap bersikeras dengan beralasan, “lhoh kan memang benar,
semua yang terjadi di dunia ini telah tertulis di Lauhul Mahfudz?”. Apakah kita
juga akan beralasan seperti itu? Melakukan pembenaran atas segala kesalahan
yang kita lakukan dengan menyandarkannya pada takdir Allah?
Sahabat,
seringkali kita tidak tepat menggunakan alasan meskipun itu benar. Jadi yang
benar belum tentu tepat pada tempatnya. Seharusnya kita menggunakan alasan yang tadi saat kita
ditimpa musibah supaya kita semakin kuat untuk sabar dan tawakal. Tapi dalam
hal maksiat dan hidayah seharusnya kita menggunakan ayat Allah yang berbicara tentang
konsep ini. Mari kita perhatikan QS Asy-Syams ayat 8-10 yang artinya: “Maka Dia(Allah) mengilhamkan kepadanya
(jiwa) jalan kejahatan(fujur) dan ketakwaan. Sungguh beruntung orang yang
menyucikannya (jiwa itu). Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.”
Nah,
sudah jelas kan sahabat? Sesungguhnya dalam setiap jiwa manusia sudah ada dua
macam kecenderungan yaitu baik dan buruk. Manusia dalam hal ini tidak bersifat
pasif tapi aktif dalam memilih apa-apa amal yang akan dilakukannya, yaitu jalan
kebaikan atau keburukan.
Apakah
ini berarti bertentangan dengan ketentuan Allah sebelumnya bahwa semua yang
terjadi telah ditakdirkan oleh Allah? Tidak sama sekali. Saya pernah mendengar ustadz
menyampaikan bahwa yang ditakdirkan disini bukan kejahatan atau kebaikan yang
dilakukan manusia, tetapi yang dimaksud dalam hal ini ada manusia ditakdirkan
untuk memilih. Jika dia memilih kebaikan itu menjadi takdir bagi dia,
begitupun jika dia memilih kejahatan maka itu menjadi takdir baginya.
Sahabat,
saya sendiri tidak merasa sebagai seorang yang bersih dari dosa dan maksiat. Maka
dari itu, pesan dalam tulisan ini pertama kali saya tujukan kepada diri saya
sendiri. Dan selanjutnya saya mengajak kepada sahabat sekalian untuk berusaha segera
mengamalkan ilmu yang telah kita ketahui. Apabila kita tahu kita punya
amal-amal yang ternyata dilarang oleh agama, marilah kita berusaha segera
meninggalkannya. Sebaliknya, apabila kita sudah tahu bahwa sesuatu itu
merupakan perintah & kewajiban dari Allah, maka marilah kita berusaha untuk
segera melaksanakannya tanpa menunda-nunda. Mari kita bedakan antara mampu
dengan mau. Kadang kita berasalan belum mampu, padahal yang ada sesungguhnya
adalah kita belum mau.
Sebagai
penutup, mari kita cermati bersama sebuah ayat penyejuk dalam QS Al An’am ayat
54: “Tuhanmu telah menetapkan atas
diri-Nya sifat kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat
kejahatan di antara kamu lantaran kebodohan, kemudian ia bertaubat setelah
mengerjakannya, dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Terima kasih atas kunjungan sahabat, apabila ada yang kurang tepat dalam tulisan ini saya mohon koreksinya. jazakumullahu khoiron katsiro...
* dini hari @ruang perenungan... *
No comments:
Post a Comment