Followers

Wednesday, November 28, 2012

Belajar Konsep HIDAYAH dan TAUBAT


Bismillah...


Sahabat, melalui tulisan ini saya ingin sedikit berbagi ilmu yang saya dapat dari kajian Tafsir Qur’an bersama Ustadz Mu’inudinillah Basri, Mudzir PP Ibnu Abbas, Klaten.
Kajian tafsir ini rutin diadakan setiap senin malam jam 20.00 WIB di masjid Daman, Mangkuyudan, Solo. Sekalian berbagi informasi nih, bagi sahabat yang berdomisili disekitar Solo raya bisa ikut mendengarkan lewat radio 92.1 MHFM SOLO (meski kadang ada gangguan). Bagi yang luar solo, kalau ingin mengikuti bisa streaming lewat http://mhfmsolo.com/


Pada kajian senin terakhir kemarin, ada satu bagian dari penjelasan ustadz yang sangat “menohok” sekali berkaitan dengan HIDAYAH dan TAUBAT. Merurut beliau, tidak sedikit orang yang menjadikan alasan “hidayah dan takdir” untuk tidak segera bertaubat kepada Allah atas segala kemaksiatan yang  dilakukannya. Sebagai contohnya, orang-orang yang berkubang dalam kemaksiatan ketika dinasehati untuk meninggalkan kemaksiatannya berkata, “saat ini Allah memang mentakdirkan saya untuk melakukan maksiat, jadi jangan menyalahkan saya.” Selain itu ada lagi contoh beberapa muslimah yang ketika diminta untuk memakai hijab (menutup aurat dengan sempurna) justru malah mengatakan, “Allah belum memberikan hidayah kepada saya, suatu saat kalau sudah diberi hidayah saya juga akan memakai”.

Sahabat, kita berdoa kepada Allah semoga kita tidak termasuk kedalam golongan yang telah disebutkan dalam ayat 6-7 QS Al Baqarah: “... sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”
Na'udzubillahi min dzalik...

Beberapa orang mungkin masih tetap bersikeras dengan beralasan, “lhoh kan memang benar, semua yang terjadi di dunia ini telah tertulis di Lauhul Mahfudz?”. Apakah kita juga akan beralasan seperti itu? Melakukan pembenaran atas segala kesalahan yang kita lakukan dengan menyandarkannya pada takdir Allah?

Sahabat, seringkali kita tidak tepat menggunakan alasan meskipun itu benar. Jadi yang benar belum tentu tepat pada tempatnya. Seharusnya kita menggunakan alasan yang tadi saat kita ditimpa musibah supaya kita semakin kuat untuk sabar dan tawakal. Tapi dalam hal maksiat dan hidayah seharusnya kita menggunakan ayat Allah yang berbicara tentang konsep ini. Mari kita perhatikan QS Asy-Syams ayat 8-10 yang artinya: “Maka Dia(Allah) mengilhamkan kepadanya (jiwa) jalan kejahatan(fujur) dan ketakwaan. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu). Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.”
Nah, sudah jelas kan sahabat? Sesungguhnya dalam setiap jiwa manusia sudah ada dua macam kecenderungan yaitu baik dan buruk. Manusia dalam hal ini tidak bersifat pasif tapi aktif dalam memilih apa-apa amal yang akan dilakukannya, yaitu jalan kebaikan atau keburukan.

Apakah ini berarti bertentangan dengan ketentuan Allah sebelumnya bahwa semua yang terjadi telah ditakdirkan oleh Allah? Tidak sama sekali. Saya pernah mendengar ustadz menyampaikan bahwa yang ditakdirkan disini bukan kejahatan atau kebaikan yang dilakukan manusia, tetapi yang dimaksud dalam hal ini ada manusia ditakdirkan untuk memilih. Jika dia memilih kebaikan itu menjadi takdir bagi dia, begitupun jika dia memilih kejahatan maka itu menjadi takdir baginya.

Sahabat, saya sendiri tidak merasa sebagai seorang yang bersih dari dosa dan maksiat. Maka dari itu, pesan dalam tulisan ini pertama kali saya tujukan kepada diri saya sendiri. Dan selanjutnya saya mengajak kepada sahabat sekalian untuk berusaha segera mengamalkan ilmu yang telah kita ketahui. Apabila kita tahu kita punya amal-amal yang ternyata dilarang oleh agama, marilah kita berusaha segera meninggalkannya. Sebaliknya, apabila kita sudah tahu bahwa sesuatu itu merupakan perintah & kewajiban dari Allah, maka marilah kita berusaha untuk segera melaksanakannya tanpa menunda-nunda. Mari kita bedakan antara mampu dengan mau. Kadang kita berasalan belum mampu, padahal yang ada sesungguhnya adalah kita belum mau.

Sebagai penutup, mari kita cermati bersama sebuah ayat penyejuk dalam QS Al An’am ayat 54: “Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya sifat kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kebodohan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya, dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Terima kasih atas kunjungan sahabat, apabila ada yang kurang tepat dalam tulisan ini saya mohon koreksinya. jazakumullahu khoiron katsiro...


* dini hari @ruang perenungan... *

No comments: