Followers

Monday, August 23, 2010

Ikhwan Mencari Cinta (part 3) - cerpen

“Sudah siap Mad?”, tanya ibu sambil memperhatikanku yang sedang sibuk merapikan baju dan menyisir rambut di depan cermin.

“InsyaAllah…, ibu yakin sudah siap menerima Laila menjadi menantu ibu?”, aku balik tanya ke ibu.

“Kalau Laila benar seperti yang kamu ceritakan, ibu akan sangat senang punya menantu seperti dia. Perangainya baik dan halus, faham agama, kulitnya juga putih bersih, meskipun kalau ibu lihat di fotonya tidak secantik Dina putrinya bu Joko yang pernah ibu ceritakan padamu dulu.”

“Kecantikan wajah tidak akan bertahan lama ibu, yang penting kan cantik hatinya. Dina memang cantik, tapi saya sering melihat dia diboncengkan dengan temennya laki-laki. Apa ibu rela kalau punya menantu yang sering di boncengkan sama laki-laki yang bukan mahramnya?” Aku mencoba meyakinkan ibu.

“Kamu kok sepertinya yakin sekali dengan Laila, padahal kamu juga baru saja kenal. Katanya kamu masih khawatir ditolak lagi seperti kemarin waktu kamu dikenalkan dengan Rita”, ibu sempat menyinggung peristiwa sebulan yang lalu. Memang saat itu aku belum sampai melamar Rita. Biodata dan cerita tentangku saja yang sampai ke orangtuanya. Tapi aku sempat minder dan berfikir untuk tidak merencanakan menikah kecuali kalau aku sudah lulus. Untungnya beberapa hari setelah itu, ustadz Sholihin secara rutin memberikan tausyah kepadaku. Kemudian dua pekan setelah kejadian itu, aku diberikan biodata akhwat yang lain oleh ustadz Sholihin. Laila inilah orangnya, yang sebentar lagi aku akan pergi bersama ustadz Sholihin untuk menyampaikan lamaran pada orang tuanya.

“Ahmad kan sudah proses ta’aruf tiga kali bu, selama proses itu kami saling bertanya dan mengenal satu sama lain. Di luar itu Ahmad juga sudah minta mencarikan informasi lewat ustadz Sholihin. Kata ustadz Sholihin, setiap orang yang mengenal Laila mengatakan bahwa dia itu muslimah yang baik. Kalau masalah diterima tidaknya lamaranku, aku sudah berkali-kali diberikan pencerahan oleh ustadz Sholihin. Kita serahkan saja semuanya kepada Allah Yang Maha Kuasa”

“Baiklah kalau begitu, sekarang ini sudah jam setengah empat. Katanya kamu janjian sama ustadz Sholihin jam empat mau berangkat dari rumah beliau.”

“Iya bu, Ahmad pamit dulu ya. Mohon do’anya, semoga orang tua Laila berkenan menerima lamaran Ahmad. Assalamu’alaykum…” aku pamit sambil mencium tangan ibu.

“Wa’alaykumsalam.. hati-hati di jalan ya…”

Ikhwan Mencari Cinta (part 2) - cerpen

Tepat dua pekan sejak aku menerima biodata Rita dari ustadz Sholihin. Sudah berkali-kali aku melakukan sholat istihkoroh untuk minta petunjuk kepada Allah tapi mengapa seperti belum ada kemantapan dalam hatiku untuk melanjutkan proses ta’aruf dengan Rita. Sebenarnya kalau dilihat dari biodata yang aku terima, tidak ada satupun alasan untuk aku tidak menerima Rita. Awalnya ketika ustadz Sholihin memberikan biodata Rita padaku di rumah beliau dulu, aku sempat mengira barangkali ada yang kurang dari Rita sehingga Ustadz Sholihin memberikan nasihat panjang lebar kepadaku supaya aku lebih mempertimbangkan sisi agamanya. Tetapi ternyata setelah aku sampai rumah dan membuka biodata itu, subhanallah, seperti aku katakan tadi tidak ada alasan bagi siapapun laki-laki untuk tidak menerima Rita. Justru bisa jadi sebaliknya, dia yang mungkin tidak akan bersedia menerimaku. Wajahnya cantik, pakaian dan jilbabnya rapi, dia juga sudah bekerja sebagai guru di sekolah ternama di kota ini. Usianya satu tahun lebih muda dariku tapi dia lulus kuliah lebih cepat. Dia lulus tiga setengah tahun dan setelah itu langsung di terima mengajar di SMA almamaternya dulu karena kecerdasannya.
Meskipun belum sepenuhnya mantap, aku paksakan untuk meminta kepada ustadz Sholihin supaya beliau mempertemukanku dengan Rita. Aku merasa sudah terlalu lama tidak segera memberikan kepastian kepada ustadz Sholihin.

*****

Tiga pekan setelah proses ta'aruf, aku di minta untuk kerumah ustadz Sholihin. Beberapa kali bertemu dalam proses ta’aruf, Aku dan Rita merasa sudah bisa saling menerima satu dengan yang lain. Mungkin ada berita terbaru yang akan disampaikan ustadz Sholihin kepadaku

“Sebelumnya maaf Mad, aku harus menyampaikan pesan dari Rita. Bapaknya mensyaratkan supaya laki-laki yang akan menikahi anaknya haruslah seorang yang sudah punya pekerjaan yang mapan.” Ternyata malam ini ustadz Sholihin meminta aku ke rumah beliau karena ingin menyampaikan pesan dari Rita ini.

“Berarti bapaknya Rita tidak menerima lamaranku ya ustadz?” aku ingin coba memastikan apa yang aku dengar.

“Tenang saja, kamu harusnya bersyukur karena belum jadi melamar ke rumahnya. Rita baru menceritakan kepada bapaknya bahwa ada seorang laki-laki yang mau melamarnya. Setelah Rita menceritakan panjang lebar tentangmu, ternyata bapaknya belum bisa menerima karena kamu belum lulus dan belum mempunyai pekerjaan yang benar-benar mapan.” Ustadz Sholihin berhenti sejenak dan memintaku minum teh yang baru saja dihidangkan oleh istri beliau. Meskipun selera makan dan minumku hilang setelah mendengar cerita beliau tadi, tapi aku paksakan minum sedikit teh yang sudah dihadangkan untuk menghormati beliau. Beberapa saat setelah istri ustadz Sholihin masuk, beliau kemudian melanjutkan ceritanya.

“Rita bilang kepadaku kalau dia sudah berusaha untuk meyakinkan bapaknya bahwa sebentar lagi skripsimu akan selesai, dia juga sudah bilang kalau meskipun belum mapan tapi penghasilanmu saat ini sudah cukup untuk sekedar hidup berdua dengannya. Ibunya Rita sebenarnya juga tidak terlalu keberatan kalau kamu menikahi putrinya, tapi bapaknya tetap besikukuh supaya Rita menikah dengan seorang yang sudah mapan. Bapaknya akan lebih senang lagi kalau menantunya adalah seorang pegawai negeri. Wajar sajalah karena bapaknya Rita kan seorang pejabat di kantor pemda.”

“Terus bagaimana ustadz?” aku bingung mau bilang apa, hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulutku.

Ustadz Sholihin tersenyum kecil kemudian berkata lagi kepadaku,
“Ahmad…., Allah Lebih Tahu siapa yang pantas untuk menjadi istrimu dan siapa yang pantas untuk menjadi suami bagi Rita. Mungkin saja Rita memang belum jodohmu, kamu kan sudah sholat istikhoroh minta petunjuk yang terbaik kepada Allah. InsyaAllah ada wanita yang lebih baik yang telah disediakan Allah untukmu.”

“Apa saya menunggu setelah wisuda saja ya ustadz? Saya khawatir akan ditolak untuk kedua kalinya kalau mau melamar akhwat yang lain sebelum lulus.”

“Kamu ini kok malah jadi putus asa begitu. Allah tidak menyukai hamba-hambaNya yang berputus asa dari rahmatNya. Kamu kan bilang kalau kamu sudah siap lahir dan batin, kedua orangtuamu juga sudah mendukungmu. Sekarang yang perlu kita lakukan adalah tetap ikhtiar dan berdoa kepada Allah supaya Allah mendekatkan jodohmu. Anggaplah semua kejadian yang telah kita alami ini pelajaran hidup yang berharga yang diberikan Allah untuk kita.”, ustadz Sholihin mencoba meyakinkanku.

“Baiklah ustadz, terima kasih atas semua nasihat ustadz. Saya mohon bimbingan terus dari ustadz.”

“InsyaAllah… Kamu sabar ya, semoga tidak lama lagi aku bisa memberikan biodata akhwat yang lain kepadamu.”

Friday, August 20, 2010

Ikhwan Mencari Cinta (part 1) - cerpen

Malam ini adalah saat yang sudah aku tunggu-tunggu. Aku segera pergi ke rumah Ustadz Sholihin setelah sholat isya’. Ustadz Sholihin berjanji akan memberikan biodata akhwat yang akan diperkenalkan denganku setelah dua pekan yang lalu aku menyerahkan biodataku kepada beliau untuk dicarikan akhwat yang menurut beliau cocok untuk menjadi pendamping hidupku. Sesampai rumah ustadz Sholihin, beliau sendiri yang menjawab salamku kemudian membukakan pintu.

“Oh Ahmad tho, malam ini kelihatan tampan sekali kamu. Mari silahkan duduk, aku sudah menunggumu sejak ba’da isya’ tadi.” Setelah mempersilahkan duduk, beliau ijin masuk kedalam sebentar.

Aku tidak tahu apakah pujian yang disampaikan beliau barusan adalah yang sejujurnya ataukah hanya untuk menyenangkan hatiku. Mungkin saja beliau ingin mendapat pahala dengan menyenangkan hati orang lain. Tapi bagiku itu tidak penting, yang terpenting adalah aku segera mendapat biodata akhwat yang sudah beliau janjikan untukku. Siapa kiranya gerangan akhwat yang telah dijodohkan oleh Allah untuk menjadi pendamping hidupku. Apakah dia akhwat yang sesuai dengan kriteria yang aku harapkan ataukah tidak. Pertanyaan-pertanyaan itu yang melayang dalam benak fikiranku.

Tidak lama kemudian ustadz Sholihin keluar membawa sebuah amplop agak besar. Aku sangat yakin amplop yang dibawa beliau itu berisi biodata akhwat yang telah beliau janjikan. Sepertinya ustadz Sholihin tahu kecemasan dalam fikiranku.
”Ini Mad, biodata akhwat yang telah aku janjikan padamu.”

Beliau menyerahkan amplop itu kepadaku sambil duduk di kursi sebelahku. Beliau memegang pundakku, kemudian berpesan,
“Kamu baca saja biodatanya nanti dirumah. Silakan kamu sholat istikhoroh, minta petunjuk kepada Allah. Seandainya akhwat ini yang telah dipilihkan Allah untuk kebaikan dunia dan akhiratmu, semoga Allah memberikan kemantapan dalam hatimu. Pesanku, janganlah kamu mendahulukan pertimbangan-pertimbangan duniawi karena semua yang ada di dunia ini akan rusak. Wajah yang cantik rupawan, suatu saat juga akan keriput termakan usia. Harta dan pekerjaan, sangat mudah bagi Allah untuk mengambilnya setiap saat. Tidak jarang harta dan pekerjaan justru melalaikan manusia dari beribadah kepada Allah. Adapun nasab keluarga, setiap orang tidak mempunyai kekuasaan untuk memilih lahir dari rahim wanita yang dia kehendaki. Yang terpenting adalah apa yang telah dia perbuat setelah kelahirannya untuk mempersiapkan akhir hidupnya. Rasulullah memang pernah menyampaikan seorang wanita dipilih karena beberapa hal tersebut. Tapi terakhir beliau menyampaikan, pilihlah olehmu seorang wanita karena agamanya. Karena agama yang baik dari seorang istri akan menyelamatkanmu di dunia dan di akhirat.”

“Terima kasih ustadz, insyaAllah akan saya laksanakan nasehat ustadz. Kalau begitu saya mohon pamit dulu ustadz.”

“Baiklah, hati-hati dijalan ya. Titip salam buat ibu dan bapak di rumah.”

“InsyaAllah ustadz, Assalamu’alaykum…”

“Wa’alaykumussalam warahmatullah wabarokatuh..”