Followers

Friday, April 06, 2007

PILAR-PILAR DA'WAH

Da’wah sebuah keharusan yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang mengaku Islam. Tanpa da’wah, dipastikan Islam akan segera lenyap dari permukaan bumi ini Katakanlah (wahai Muhammad!):” Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mrngikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashiroh (hujjah/ ilmu)yang nyata. MahasuciAllah dan aku tidak termasuk orang-orang yang musryik”.(QS. Yusuf / 12:108)

Da’wah merupakan sebuah keharusan dan keniscayaan yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tanpa da’wah dapat dipastikan bahwa Islam akan segera lenyap dari permukaan bumi ini. Sebab, hanya da’wah lah yang mampu mempertahankan eksistensi Islam hingga saat ini. Dalam mana kita dapat membayangkan, apa jadinya jika dunia sepi dari kegiatan da’wah? Sepi dari kegiatan transfer ilmu agama?, Pasti akan muncul sebuah generasi yang tidak mengenal aturan hidup (syari’at). Pada akhirnya akan muncul suatu kehidupan yang berantakan (chaose). Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika al-Qur’an menyebutkan bahwa da’wah merupakan jalan para Rosul Allah. Sejak Rosul pertama, Nuh ‘alaihis salam, sampai dengan rosul terakhir, Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Secara etimologi, da’wah berasal dari akar kata da’aa-yad’ua, yang mengandung arti mengajak, menyeru dan mengundang. Adapun secara terminologi, merupakan segala aktivitas yang dilakukan secara terorganisir, untuk mengajak seseorang atau lebih kepada jalan yang lurus (ash-shiroth al-mustaqim), mengeluarkan sesorang dari kesesatan menuju hidayah dan dari kegelapan menuju cahaya Islam, dengan menggunakan metode yang sistematis berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini.
Dalam berda’wah, setidaknya ada sepiluh pilar yang harus diperhatikan oleh para da’i. Dalam mana sepuluh pilar ini merupakan hasil ijtihad seorang ulama dan mujahid Islam yang sangat populer, yaitu Hassan al-Banna. Selanjutnya, sepuluh pilar itu sudah banyak dijelaskan oleh banyak ulama dan cendekiawan muslim, seperti Sa’id Hawa dalam “Afaaq Risalah at-Ta’lim”, Dr. Abdullah al-Khatib dan Dr. Abdu Halim dalam “Nazharat fi Risalah Ta’lim” , Dr. Yusuf al-Qordowi dalam “Aulawiyat al-harokah al-Islamiyah” dan yang terakhir Rahmad Abdullah dalam bukunya “untukmu kader da’wah”. Adapun herarkis sepuluh pilar itu adalah.

Pertama, al-Fahmu. Yang dalam bahasa Indonesia berarti pemahaman. Artinya setiap da’I harus mampu memberikan pemahan yang benar kepada obyek da’wahnya tentang apa yang ia da’wahkan, dalam hal ini adalah Islam.

Kedua, al-ikhlas. Artinya seorang da’i harus melandasi seluruh aktivitas da’wahnya dengan totalitas keikhlasan kepada Allah SWT. Da’i tidak boleh mengharapkan dari aktivitas da’wahnya itu melainkan keridho’an Allah SWT, bukan yang lain. Sehingga orang-orang yang diajak pun mampu merasakan pancaran kesucian jiwanya. Dalam pada itu, mereka pun akhirnya akan percaya bahwa yang disampaikan oleh da’i itu merupakan kebenaran dari Allah SWT, sebelum pada akhirnya mereka pun akan mengikuti arahan dan pesan da’wah dari da’i tersebut. Bahkan tidak mustahil kelak mereka pun akan menjadi da’i-da’i baru yang akan meneruskan agenda da’wah muka bumi ini.

Ketiga, al-’Amal. Sangat ironis sekali jika seorang da’i mengajak orang lain untuk melakukan sesuatu, namun ia sendiri tidak melakukan apa yang diucapkan. Disamping mendapat murka dari Allah SWT, orang lain pun akan meremehkannya dan tidak akan menggubris apa yang dikatakannya. Dalam pada itu, sangat besar kemungkinannya agenda da’wah akan terhambat. Dikarenakan ulah sebagian da’i yang tidak mampu memberi contoh yang baik (qudwah hasanah) bagi obyek da’wahnya.

Keempat, al-Jihad. Di dalam da’wah amal saja tidak cukup, melainkan diperlukan pula adanya kesungguhan dan usaha keras dari para da’i tersebut. Sehingga da’wah itu dapat berjalan secara efektif dan mampu mengajak lebih banyak objek da’wah. Tanpa kesungguhan, da’wah akan berjalan ala kadarnya, bahkan sangat dimungkinkan akan terjadi futur (patah semangat) dalam diri da’i itu. Mengingat da’wah bukanlah pekerjaan yang ringan. Sehingga kesungguhan merukapakan hal yang harus dimiliki oleh setiap da’i.

Kelima, at-Tadhiyah. Disamping kesungguhan, diperlukan pula adanya pengorbanan dari da’i, baik pengorbanan material maupun mental. Merupakan kebohongan besar, jika ada yang ingin mengambil jalan da’wah tanpa mau berkorban. Mengingat orientasi da’wah tidak lah sama dengan perdagangan, yang nota bene berorientasi pada keuntungan material. Maka dari itu, pengorbanan merupakan suatu keniscayaan bagi para da’i.

Keenam, ath-Tho’ah. Dalam berda’wah seorang da’i tidak boleh berjalan secera sendiri-sendiri. Melainkan harus secara berjama’ah. Oleh karena itu, mutlak diperlukan adanya kepatuhan dari setiap da’i terhadap keputusan jama’ah itu. Jika tidak, maka hampir dapat dipastikan bahwa da’wah tersebut akan kandas di tengah jalan, bahkan bisa jadi para da’I itu akan mengalami kesulitan dan rintangan dari musuh-musuh da’wah.

Ketujuh, ats-Tsabat. Disamping memiliki kepatuhan, seorang da’i dituntut untuk memiliki keteguhan hati. Sehingga sanggup melawan segala rintangan dan kesulitan yang ditemuinya dalam menjalankan tugas dan amanahnya dari da’wah tersebut.

Kedelapan, at-Tajarrud. Agar dapat menyampaikan da’wahnya dengan benar, maka seorang da’i juga harus memiliki paradigma berfikir yang benar dan terbebas dari pengaruh pemikiran-pemikiran non-islami. Dalam pada itu, ketika seorang da’i sudah tercemari paradigma berfikirnya, maka ada kemungkinan da’i, yang sedianya ingin menyelamatkan orang, malah menyesatkannya. Inilah makna dari At-Tajarrud itu.

Kesembilan, al-Uhkuwah. Ketika berda’wah,hampir dapat dipastikan bahwa da’i akan menemui pelbagai rintangan, sehingga bantuan dari da’i lain sangat diperlukan dalam rangka menyukseskan agenda da’wah. Dari itu, rasa persaudaraan, baik sesama da’i, maupun antara da’i dengan obyek da’wahnya, merupakan hal yang sangat krusial dalam da’wah. Sehingga ketika memerlukan bantuan ia dapat memanggil saudaranya.

Kesepuluh, ats-Tsiqoh (kepercayaan). Mustahil rasanya, seseorang mau mengikuti perkataan orang lain tanpa adanya kepercayaan orang tersebut kepadanya. Dari itu, kepercayaan merupakan hal yang harus dibangun oleh para da’i di hadapan para obyek da’wahnya. Dalam mana, ketika kepercayaan sudah ada maka para da’I, dapat dengan mudah mengarahkan obyek da’wahnya untuk mengikuti arahan dan pesan da’wah yang ia berikan padanya. Sebelum pada akhirnya, da’i tersebut juga dapat mempercayakan suatu perkara kepada kader da’wah yang muncul dari mereka, untuk meneruskan da’wahnya. Maka rasa saling mempercayai dari kedua belah pihak merupakan sebuah keniscayaan.

Itulah sepuluh pilar dalam da’wah. Dalam mana harus dipegang teguh oleh setiap da’i dan dilaksanakan menurut herarkinya. Dan mudah-mudahan, dengan melaksanakan itu semua, Allah SWT berkenan untuk menjadikan kita para da’i yang berkompeten dan meraih kesuksesan dalam berda’wah. Semoga.

Friday, February 16, 2007

Kewajiban Berjilbab

(Tafsir QS al-Ahzab [33]: 59)
Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

Sabab Nuzul
Dikemukakan Said bin Manshur, Saad, Abd bin Humaid, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abi Malik: Dulu istri-istri Rasulullah saw. keluar rumah untuk keperluan buang hajat. Pada waktu itu orang-orang munafik mengganggu dan menyakiti mereka. Ketika mereka ditegur, mereka menjawab, "Kami hanya mengganggu hamba sahaya saja." Lalu turunlah ayat ini yang berisi perintah agar mereka berpakaian tertutup supaya berbeda dengan hamba sahaya.1

Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Yâ ayyuhâ an-Nabiyy qul li azwâjika wa banâtika wa nisâ' al-Mu'mînîn (Hai Nabi, katakanah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin). Khithâb (seruan) ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw.

Allah Swt. memerintahkan Nabi saw. untuk menyampaikan suatu ketentuan bagi para Muslimah. Ketentuan yang dibebankan kepada para wanita Mukmin itu adalah: yudnîna 'alayhinna min jalâbîbihinna (hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka).

Kata jalâbîb merupakan bentuk jamak dari kata jilbâb. Terdapat beberapa pengertian yang diberikan para ulama mengenai kata jilbab. Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai ar-ridâ' (mantel) yang menutup tubuh dari atas hingga bawah.2 Al-Qasimi menggambarkan, ar-ridâ' itu seperti as-sirdâb (terowongan).3 Adapun menurut al-Qurthubi, Ibnu al-'Arabi, dan an-Nasafi jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh.4 Ada juga yang mengartikannya sebagai milhafah (baju kurung yang longgar dan tidak tipis) dan semua yang menutupi, baik berupa pakaian maupun lainnya.5 Sebagian lainnya memahaminya sebagai mulâ'ah (baju kurung) yang menutupi wanita6 atau al-qamîsh (baju gamis).7

Meskipun berbeda-beda, menurut al-Baqai, semua makna yang dimaksud itu tidak salah.8 Bahwa jilbab adalah setiap pakaian longgar yang menutupi pakaian yang biasa dikenakan dalam keseharian dapat dipahami dari hadis Ummu 'Athiyah ra.:

Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk keluar pada Hari Fitri dan Adha, baik gadis yang menginjak akil balig, wanita-wanita yang sedang haid, maupun wanita-wanita pingitan. Wanita yang sedang haid tetap meninggalkan shalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslim. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab?" Rasulullah saw. menjawab, "Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya." (HR Muslim).

Hadis ini, di samping, menunjukkan kewajiban wanita untuk mengenakan jilbab ketika hendak keluar rumah, juga memberikan pengertian jilbab; bahwa yang dimaksud dengan jilbab bukanlah pakaian sehari-hari yang biasa dikenakan dalam rumah. Sebab, jika disebutkan ada seorang wanita yang tidak memiliki jilbab, tidak mungkin wanita itu tidak memiliki pakaian yang biasa dikenakan dalam rumah. Tentu ia sudah memiliki pakaian, tetapi pakaiannya itu tidak terkategori sebagai jilbab.

Kata yudnîna merupakan bentuk mudhâri' dari kata adnâ. Kata adnâ berasal dari kata danâ yang berarti bawah, rendah, atau dekat. Dengan demikian, kata yudnîna bisa diartikan yurkhîna (mengulurkan ke bawah).9 Meskipun kalimat ini berbentuk khabar (berita), ia mengandung makna perintah; bisa pula sebagai jawaban atas perintah sebelumnya.10

Berkaitan dengan gambaran yudnîna 'alayhinna, terdapat perbedaan pendapat di antara para mufassir. Menurut sebagian mufassir, idnâ' al-jilbâb (mengulurkan jilbab) adalah dengan menutupkan jilbab pada kepala dan wajahnya sehingga tidak tampak darinya kecuali hanya satu mata. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas, Ibnu Sirrin, Abidah as-Salmani,11 dan as-Sudi.12 Demikian juga dengan al-Jazairi, an-Nasafi, dan al-Baidhawi.13

Sebagian lainnya yang menyatakan, jilbab itu diikatkan di atas dahi kemudian ditutupkan pada hidung. Sekalipun kedua matanya terlihat, jilbab itu menutupi dada dan sebagian besar wajahnya. Demikian pendapat Ibnu Abbas dalam riwayat lain dan Qatadah.14Adapun menurut al-Hasan, jilbab itu menutupi separuh wajahnya.15

Ada pula yang berpendapat, wajah tidak termasuk bagian yang ditutup dengan jilbab. Menurut Ikrimah, jilbab itu menutup bagian leher dan mengulur ke bawah menutupi tubuhnya, 16 sementara bagian di atasnya ditutup dengan khimâr (kerudung)17 yang juga diwajibkan (QS an-Nur [24]: 31).

Pendapat ini diperkuat dengan hadis Jabir ra. Jabir ra. menceritakan: Dia pernah menghadiri shalat Id bersama Rasulullah saw. Setelah shalat usai, Beliau lewat di depan para wanita. Beliau pun memberikan nasihat dan mengingatkan mereka. Di situ Beliau bersabda, "Bersedakahlah karena kebanyakan dari kalian adalah kayu bakar neraka." Lalu seorang wanita yang duduk di tengah-tengah wanita kaum wanita yang kedua pipinya kehitam-hitaman (saf'â al-khaddayn) bertanya, "Mengapa wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Karena kalian banyak mengadu dan ingkar kepada suami." (HR Muslim dan Ahmad).

Deskripsi Jabir ra. bahwa kedua pipi wanita yang bertanya kepada Rasulullah saw. kedua pipinya kehitam-hitaman menunjukkan wajah wanita itu tidak tertutup. Jika hadis ini dikaitkan dengan hadis Ummu Athiyah yang mewajibkan wanita mengenakan jilbab saat hendak mengikuti shalat Id, berarti jilbab yang wajib dikenakan itu tidak harus menutup wajah. Sebab, jika pakaian wanita itu bukan jilbab atau penggunaannya tidak benar, tentulah Rasulullah saw. akan menegur wanita itu dan melarangnya mengikuti shalat Id. Di samping hadis ini, terdapat banyak riwayat yang menceritakan adanya para wanita yang membuka wajahnya dalam kehidupan umum.

Penafsiran ini juga sejalan dengan firman Allah Swt. dalam QS an-Nur (24) ayat 31: Wa lâ yubdîna zînatahunna illâ mâ zhahara minhâ (dan janganlah mereka menampakkan kecuali yang biasa tampak daripadanya). Menurut Ibnu Abbas, yang biasa tampak adalah wajah dan dua telapak tangan. Ini adalah pendapat yang masyhur menurut jumhur ulama.18Pendapat yang sama juga dikemukakan Ibnu Umar, Atha', Ikrimah, Said bin Jubair, Abu asy-Sya'tsa', adh-Dhuhak, Ibrahim an-Nakhai,19 dan al-Auza'i.20 Demikian juga pendapat ath-Thabari, al-Jashash, dan Ibnu al-'Arabi.21

Meskipun ada perbedaan pendapat tentang wajah dan telapak tangan, para mufassir sepakat bahwa jilbab yang dikenakan itu harus bisa menutupi seluruh tubuhnya, termasuk di dalamnya telapak kaki. Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi saw.:

"Siapa saja yang menyeret bajunya lantaran angkuh, Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat." Ummu Salamah bertanya, "Lalu bagaimana dengan ujung-ujung pakaian kami?" Beliau menjawab, "Turunkanlah satu jengkal." Ummu Salamah bertanya lagi, "Kalau begitu, telapak kakinya tersingkap." Lalu Rasulullah saw. bersabda lagi, "Turunkanlah satu hasta dan jangan lebih dari itu." (HR at-Tirmidzi).

Berdasarkan hadis ini, jilbab yang diulurkan dari atas hingga bawah harus bisa menutupi dua telapak kaki wanita. Dalam hal ini, para wanita tidak perlu takut jilbabnya menjadi najis jika terkena tanah yang najis. Sebab, jika itu terjadi, tanah yang dilewati berikutnya akan mensucikannya. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu al-Walad Abdurrahman bin Auf; ia pernah bertanya kepada Ummu Salamah ra. tentang ujung pakainnya yang panjang dan digunakan berjalan di tempat yang kotor. Ummu Salamah menjawab bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Yuthahhiruhu mâ ba'dahu (Itu disucikan oleh apa yang sesudahnya).

Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Dzâlika adnâ an yu'rafna falâ yu'dzayn (Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu). Maksud kata dzâlika adalah ketentuan pemakaian jilbab bagi wanita, sedangkan adnâ berarti aqrab (lebih dekat).22 Yang dimaksud dengan lebih mudah dikenal itu bukan dalam hal siapanya, namun apa statusnya. Dengan jilbab, seorang wanita merdeka lebih mudah dikenali dan dibedakan dengan budak.23 Karena diketahui sebagai wanita merdeka, mereka pun tidak diganggu dan disakiti.

Patut dicatat, hal itu bukanlah 'illat (sebab disyariatkannya hukum) bagi kewajiban jilbab yang berimplikasi pada terjadinya perubahan hukum jika illat-nya tidak ada. Itu hanyalah hikmah (hasil yang didapat dari penerapan hukum). Artinya, kewajiban berjilbab, baik bisa membuat wanita Mukmin lebih dikenal atau tidak, tidaklah berubah.

Ayat ini ditutup dengan ungkapan yang amat menenteramkan hati: Wa kâna Allâh Ghafûra Rahîma (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Karena itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak bertobat kepada-Nya jika telah terlanjur melakukan perbuatan dosa dan tidak menaati aturan-Nya.

Mendatangkan Kebaikan

Ayat ini secara jelas memberikan ketentuan tentang pakaian yang wajib dikenakan wanita Muslimah. Pakaian tersebut adalah jilbab yang menutup seluruh tubuhnya. Bagi para wanita, mereka tak boleh merasa diperlakukan diskriminatif sebagaimana kerap diteriakkan oleh pengajur feminisme. Faktanya, memang terdapat perbedaan mencolok antara tubuh wanita dan tubuh laki-laki. Oleh karenanya, wajar jika ketentuan terhadapnya pun berbeda. Keadilan tak selalu harus sama. Jika memang faktanya memang berbeda, solusi terhadapnya pun juga tak harus sama.

Penggunaan jilbab dalam kehidupan umum akan mendatangkan kebaikan bagi semua pihak. Dengan tubuh yang tertutup jilbab, kehadiran wanita jelas tidak akan membangkitkan birahi lawan jenisnya. Sebab, naluri seksual tidak akan muncul dan menuntut pemenuhan jika tidak ada stimulus yang merangsangnya. Dengan demikian, kewajiban berjilbab telah menutup salah satu celah yang dapat mengantarkan manusia terjerumus ke dalam perzinaan; sebuah perbuatan menjijikkan yang amat dilarang oleh Islam.

Fakta menunjukkan, di negara-negara Barat yang kehidupannya dipenuhi dengan pornografi dan pornoaksi, angka perzinaan dan pemerkosaannya amat mengerikan. Di AS pada tahun 1995, misalnya, angka statistik nasional menunjukkan, 1,3 perempuan diperkosa setiap menitnya. Berarti, setiap jamnya 78 wanita diperkosa, atau 1.872 setiap harinya, atau 683.280 setiap tahunnya!24 Realitas ini makin membuktikan kebenaran ayat ini: Dzâlika adnâ an yu'rafna falâ yu'dzayn (Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu).

Bagi wanita, jilbab juga dapat mengangkatnya pada derajat kemuliaan. Dengan aurat yang tertutup rapat, penilaian terhadapnya lebih terfokus pada kepribadiannya, kecerdasannya, dan profesionalismenya serta ketakwaannya. Ini berbeda jika wanita tampil 'terbuka' dan sensual. Penilaian terhadapnya lebih tertuju pada fisiknya. Penampilan seperti itu juga hanya akan menjadikan wanita dipandang sebagai onggokan daging yang memenuhi hawa nafsu saja.

Walhasil, penutup ayat ini harus menjadi catatan amat penting dalam menyikapi kewajiban jilbab. Wa kânaLlâh Ghafûra Rahîma (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Ini memberikan isyarat, kewajiban berjilbab tersebut merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah Swt. kepada hamba-Nya. Siapa yang tidak mau disayangi-Nya?!

Wallâh a'lam bi ash-shawâb

Tuesday, February 06, 2007

DZIKIR CINTA UNTUK IBUNDA

Di beberapa literatur Islam, banyak kita temukan sumber yang membahas tentang sepuluh sahabat Nabi Muhammad SAW yang dijamin masuk surga. Kesepuluh sahabat itu semuanya laki-laki. Kisah-kisah mereka tersebar di berbagai buku sejarah yang kemudian banyak dijadikan rujukan umat Islam zaman sekarang untuk bisa meneladani dan berbuat seperti apa yang sahabat-sahabat tadi kerjakan. Harapannya, tentu untuk bisa mendapatkan dan meraih surgaNya juga.

Sejauh ini, kesepuluh sahabat tadi yang cukup dikenal publik (umat Islam). Padahal, dalam sejarahnya, banyak juga wanita-wanita yang dijanjikan masuk surga. Di antaranya, ada Sumayyah binti Khayat, Asma’ binti Abu Bakar, Aisyah binti Abu Bakar, Ummu Waraqah, Ummu Aiman, Nasibah binti Ka’ah, Ummu Haram dan Ummu Zafar. Kisah-kisah mereka bisa kita baca dalam buku karangan Muhammad Ali Qutb yang berjudul “Bidadari-Bidadari Surga” (Mubasyiraatu bi Jannatun).

Dalam bukunya dikisahkan, Sumayyah adalah sosok muslimah yang mempunyai harga diri (izzah) yang tinggi. Memiliki kesabaran dan keikhlasan luar biasa di fase-fase awal dakwah Rasulullah. Sumayyah mempunyai suami bernama Yasir. Keluarga ini memproklamirkan diri sebagai keluarga muslim, mengikuti ajaran Muhammmad. Kenyataan ini membuat tidak senang para pemuka masyarakat yang saat itu masih menyembah berhala, Lata, Uzza.

Maka, disiksalah mereka oleh kaumnya, dan hanya akan menghentikan siksanya ketika mau melepaskan diri dari ajaran Muhammad. Namun, Sumayyah dan keluarganya tetap istiqomah, tetap tegar dalam ke-Islaman dan memegang teguh keyakinannya untuk membenarkan ajaran Muhammad. Dan akhirnya, wanita dan suaminya gugur di medan kesyahidan. Sumayyah adalah wanita perkasa pertama yang syahid dalam sejarah Islam pada periode awal Islam datang.

Selain itu, ada Asma’ putri Abu Bakar, sang “pemilik dua sabuk”. Kisah yang mengharumkan namanya ketika ia terlibat dakwah dalam peristiwa hijrah. Wanita inilah yang bertugas mengantar bekal makanan untuk Muhammad dan Abu bakar ayahnya ketika hijrah. Asma keluar dari kota Mekah di malam hari tanpa menghiraukan gelap gulitanya malam, sepi dan sunyinya malam, terjalnya bebukitan dan bahaya binatang buas. Yang ada dalam dirinya, hanya bertawakal kepada Allah agar diberi kekuatan untuk bisa memegang amanah.

Ketika sampai ke Gua Tsur inilah peristiwa sejarah “pemilik dua sabuk” terjadi. Asma’ menyobek kerudungnya menjadi dua. Satu bagian untuk dijadikan sebagai ikat pinggang dan satunya lagi untuk mengikat bekal. Saat itu, Rasulullah memberi kabar gembira atas apa yang telah dilakukan Asma’, kemudian berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengganti ikat pinggangmu ini dengan dua ikat pinggang di surga”. Sejak itu, Asma, putri Abu Bakar mendapat gelar Dzatu an-nitthqain yaitu orang yang mempunyai dua ikat pinggang.

Masih banyak lagi cerita lainnya. Tentang Ummu Ruman (Zainab), wanita yang dijanjikan surga bukan karena keelokan wajahnya, tapi, ia adalah isteri Abu Bakar yang sabar menerima resiko mendampingi suaminya dalam berdakwah, ia adalah simbol wanita pertama yang memikul tugas mendidik, mengarahkan dan membimbing anak-anak mereka.. Tentang Ummu Waraqah, seorang wanita baik hati yang teraniaya dan dibunuh hamba sahayanya sendiri karena iming-iming harta. Tentang Ummu Aiman yang penuh ikhlas merawat Muhammad. Tentang Nasibah binti Ka’ab, bidadari yang terluka dalam perang Uhud. Begitu juga Ummu Zafar, wanita yang sabar dalam keadaan sakitnya.

Saya trenyuh dan haru membaca kisah-kisah wanita hebat itu,
bidadari-bidadari surga itu…
hingga kemudian saya teringat kepada ibunda….

Istaria Sumari, dia hanya wanita sederhana. Tapi, sebagai anaknya, ketulusan, kasih sayang dan ajaran cintanya sampai saat ini masih terus saya rasakan. Dia bukan hanya sosok seorang ibu, tapi sekaligus guru dan sahabat. Mungkin saat ini saya belum bisa berikan yang terbaik untuknya. Karena itu, hanya lantunan doa dan dzikir cinta yang bisa saya berikan untuk Ibunda tercinta

Ya Allah ya Rabbi
Berikanlah kebahagiaan dalam hatinya
Jadikanlah ia wanita yang senantiasa teguh
Memegang ajaranMu
Muliakanlah ia di dunia dan kelak
Berikan kesempatan kepadanya
Untuk bisa merasakan surgaMU

Thursday, January 25, 2007

HAKEKAT CINTA

Cinta adalah bagian dari fitrah, orang yang kehilangan cinta dia tidak normal tetapi banyak juga orang yang menderita karena cinta. Bersyukurlah orang-orang yang diberi cinta dan bisa menyikapi rasa cinta dengan tepat. Hikam: "Dijadikan indah pada pandangan manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia dan disisi Allah tempat kembali yang baik." (Al-Qur`an: Al-Imron ayat 14) Cintamu kepada sesuatu menjadikan kamu buta dan tuli (HR. Abu Dawud dan Ahmad) Cinta memang sudah ada didalam diri kita, diantaranya terhadap lawan jenis. Tapi kalau tidak hati-hati cinta bisa menulikan dan membutakan kita. Cinta yang paling tinggi adalah cinta karena Allah cirinya adalah orang yang tidak memaksakan kehendaknya. Tapi ada juga cinta yang menjadi cobaan buat kita yaitu cinta yang lebih cenderung kepada maksiat. Cinta yang semakin bergelora hawa nafsu, makin berkurang rasa malu. Dan, inilah yang paling berbahaya dari cinta yang tidak terkendali. Islam tidak melarang atau mengekang manusia dari rasa cinta tapi mengarahkan cinta tetap pada rel yang menjaga martabat kehormatan, baik wanita maupun laki-laki. Kalau kita jatuh cinta harus hati-hati karena seperti minum air laut semakin diminum semakin haus. Cinta yang sejati adalah cinta yang setelah akad nikah, selebihnya adalah cobaan dan fitnah saja. Cara untuk bisa mengendalikan rasa cinta adalah jaga pandangan, jangan berkhalwat berdua-duaan, jangan dekati zina dalam bentuk apapun dan jangan saling bersentuhan. Bagi orang tua yang membolehkan anaknya berpacaran, harus siap-siap menanggung resiko. Marilah kita mengalihkan rasa cinta kita kepada Allah dengan memperbanyak sholawat, dzikir, istighfar dan sholat sehingga kita tidak diperdaya oleh nafsu, karena nafsu yang akan memperdayakan kita. Sepertinya cinta padahal nafsu belaka.

Monday, January 22, 2007

AL-QURAN MERANGSANG KELAHIRAN SAINTIS-SAINTIS AGUNG

Nukilan, Dr. Danial bin Zainal Abidin (M.B.Ch.B., Universiti Alexandria)
Pengarah Urusan Danial Zainal Consultancy (M) Sdn. Bhd. dan
Penulis bagi PTS Publication & Distributors Sdn Bhd

Otak adalah satu organ istimewa yang dikurniakan Allah kepada manusia. Ketika seseorang bayi berumur tujuh minggu dalam rahim ibu, struktur utama otak sudah dapat dilihat dengan jelas. Dalam rahim ibu, pertumbuhan sel-sel otak berlaku dengan pesatnya. Lebih kurang 2.5 juta sel-sel otak (neuron) tumbuh pada setiap minit. Ketika dilahirkan jumlah sel-sel otak ini mencecah 100 bilion. Setiap sel ini pula mempunyai 1,000 tempat di mana ia dapat berhubung dengan sel-sel otak yang lain. Ketika baru dilahirkan sel-sel ini tidak banyak berhubungan antara satu sama lain.

Namun apabila bayi mula berinteraksi dengan alam, terutamanya di zaman kanak-kanak, sel-sel ini akan berhubungan dengan pesatnya. Semakin meningkat usaha dan pengalaman seseorang semakin rancaklah hubungan yang berlaku antara sel-sel ini. Semua ini akan menentukan kematangan, kepintaran, sikap serta kebijaksanaan seseorang sekali gus mempengaruhi kehidupannya. Apabila kesemua ini berlaku, manusia ketika itu tidak hanya mempunyai otak tetapi, yang lebih penting ialah, mereka juga mempunyai akal serta intelek.

Umat Islam dikurniakan Allah dengan satu agama yang mementingkan akal. Bagi Imam Al-Ghazali, “Akal ialah kekuatan pemikiran semula jadi yang dikurniakan Allah kepada manusia agar dengannya manusia dapat mengenali hakikat sesuatu perkara... Akal ialah tempat lahir dan tertegaknya ilmu. Ilmu tumbuh dari akal sebagaimana terbitnya buah-buahan dari pohon dan terpancarnya cahaya dari matahari. Akal amat mulia sehinggakan haiwan yang bertubuh besar lagi perkasa berasa bimbang dan takut ketika berdepan dengan manusia kerana menyedari manusia mempunyai helah dan upaya untuk melakukan sesuatu hasil dari kekuatan akal.” Hal ini disebutkan dalam Ihya Ulumuddin.

Justeru, apabila sahabat Omar Al-Khattab bertanya kepada sahabat Tamim Ad-Dari, “Menurut pandanganmu, apakah benda yang paling mulia,” beliau menjawab, “Akal.” Seterusnya Omar Al-Khattab berkata, “Kamu benar. Aku pernah bertanya kepada nabi soalan yang sama seperti yang aku ajukan kepadamu dan baginda menjawab, ‘Aku pernah bertanya Jibrail berhubung perkara yang paling mulia dan Jibrail berkata akal’.” Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnul Mahbar. Dalam riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh Abu Naim, nabi berpesan kepada Ali bin Abu Talib, “Apabila manusia mendekati Allah dengan pelbagai kebajikan maka kamu dekatilah Allah dengan akalmu.”

Al-Quran Merangsang Penguasaan Ilmu

Berbekalkan akal dan kesungguhan, tokoh-tokoh Islam sebelum ini mengamati serta mengkaji alam. Mereka melakukannya kerana dirangsang oleh Al-Quran dan hasilnya ialah meledaknya ilmu pengetahuan serta kemodenan yang berkembang hingga ke hari ini. Pengkaji Barat yang bernama Marmaduke Picktall dalam Islamic Culture berkata, “Al-Quran tanpa ragu-ragu lagi merupakan pemangkin kepada pencarian ilmu di kalangan umat Islam, terutamanya dalam bidang sains alam..... Ketika orang-orang Islam gigih mencari ilmu atas nama Tuhan, golongan Kristian menghancurkan khazanah ilmu golongan terdahulu atas nama Nabi Isa. Mereka memusnahkan kutub khanah di Alexandria dan membunuh ramai ahli falsafah termasuk Hypatia. Bagi mereka mencari ilmu adalah perangkap iblis. Konsep ‘carilah ilmu walaupun di negeri China’ tidak pernah wujud dalam ajaran mereka. Tokoh-tokoh Kristian membunuh tokoh sains seperti Bruno dan memaksa Galileo menarik balik kenyataannya berhubung peredaran bumi kerana ia bercanggah dengan kenyataan Bible yang menetapkan bumi tegun atau statik. Sebenarnya Christopher Columbus mendapat idea bumi adalah bulat dari tokoh-tokoh Islam yang mengajar di pelbagai universiti di Sepanyol.... Justeru Barat yang maju terhutang budi kepada Islam dan bukannya kepada Gereja Kristian yang telah membunuh, menyeksa serta membakar tokoh-tokoh ilmu sebelum ini.”

Mereka yang rajin bertafakur serta mengkaji rahsia alam dipuji oleh Allah. Dalam Al-Quran mereka digelar sebagai ulul albab. Dalam surah Ali-Imran ayat 190-191 Allah berfirman,


Maksudnya, “Sesungguhnya tentang penciptaan langit dan bumi serta pertukaran malam dan siang terdapat tanda (keagungan Allah) bagi ulul albab. Mereka ialah golongan yang mengingati Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka banyak berfikir tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata, ‘Wahai Tuhan kami Kamu tidak menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami seksa neraka’.”

Golongan ulul albab ditafsirkan oleh Imam Ibn Kathir dalam Tafsir Al-Quran Al-Azim sebagai “golongan yang mempunyai pemikiran yang bersih lagi sempurna sehingga mampu memahami hakikat sesuatu perkara secara yang betul”. Mereka mencapai makam ini melalui zikir dan tafakur. Ahli-ahli sains Muslim yang bertakwa layak digelar sebagai ulul albab kerana mereka memiliki ciri-ciri yang disebutkan ini. Hal ini disebabkan mereka berkesempatan untuk berzikir serta mengagungkan Allah melalui pengamatan, analisis dan tafakur ketika cuba menyingkap rahsia alam.

Saintis-Saintis Muslim

Rangsangan dari ayat-ayat seperti ini berjaya melahirkan ramai saintis Muslim yang hebat. Antaranya ialah,

Abu Al-Qasim Al-Zahrawi (936-1013 M)

Beliau dikenali di Barat sebagai Abulcasis dan dianggap sebagai Bapa Bedah Moden. Ensiklopedia karangannya yang bertajuk At-Tasrif merupakan bahan rujukan penting dalam ilmu pembedahan ketika itu. Beliau mencipta banyak alat-alat pembedahan seperti alat pemeriksaan telinga dan saluran kencing. Beliau ialah orang pertama yang mengenal pasti penyakit keturunan yang dikenali sebagai hemofilia. Kitab beliau At-Tasrif kemudiannya diterjemahkan oleh Gherard dari Cremona ke dalam bahasa Latin sebelum diterjemahkan ke dalam bahasa Hebrew, Perancis dan Inggeris. Pakar bedah Perancis yang terkenal, Guy de Chauliac (1300-1368 Masihi) menjadikan tulisan Al-Zahrawi sebagai bahan tambahan dalam buku bedah beliau. At-Tasrif menjadi bahan rujukan selama lima abad di Universiti Salerno di Itali, Motpellier di Perancis dan beberapa universiti lain di Eropah. Mengikut Dr. Cambell dalam History of Arab Medicine, prinsip-prinsip sains perubatan yang diutarakan oleh Al-Zahrawi sebenarnya mengatasi karya Galen di Eropah.

Abu Ali Hasan Ibn Al-Haitham (965-1040 M)

Beliau dikenali di Barat sebagai Alhazen dan dianggap sebagai Bapa Optik Moden. Beliau membuat kajian tentang cahaya termasuk cahaya pada waktu matahari terbit. Di samping itu beliau juga mengkaji fenomena bayang-bayang, gerhana dan pelangi. Beliau merupakan orang pertama yang dapat menjelaskan tentang bahagian-bahagian mata dan proses penglihatan. Bukunya Kitab Al-Manadhir diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, begitu juga dengan buku-buku beliau yang berkaitan dengan cahaya dan warna pada waktu matahari terbit. Tokoh-tokoh sains Barat seperti Roger Bacon, Pole Witelo (Vitellio) dan yang lain-lainnya banyak merujuk kepada tulisan Al-Haitham ini.

Ibn Sina (980-1037 M)

Ibn Sina dikenali di Barat sebagai Avicenna dan beliau ialah seorang tokoh perubatan Islam yang amat terkenal. Beliau merupakan orang pertama yang menjelaskan tentang penyakit radang selaput otak atau meningitis. Sumbangan beliau yang paling besar ialah bukunya yang bertajuk Al-Qanun. Ia dikenali di Barat sebagai Canon. Buku ini merupakan sebuah ensiklopedia perubatan yang mengandungi lebih daripada sejuta perkataan. Ia kemudiannya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard dari Cremona pada abad ke-12 dan menjadi buku teks di sekolah-sekolah perubatan di Eropah dari abad ke-12 hingga ke-17. Malah di penghujung abad ke-15, buku ini diulang cetak hingga mencapai edisi yang ke-16. Cameron Gruner menterjemahkan buku ini ke dalam bahasa Inggeris dengan tajuk A Treatise on the Canons of Medicine of Avicenna pada tahun 1930. Seorang tokoh perubatan yang terkenal pada abad kedua puluh, Dr. William Osler, pengarang buku Evolution of Modern Science, berkata, “Qanun menjadi buku rujukan utama dalam bidang perubatan lebih lama dari buku-buku lain.”

Yaaqub Ibn Ishaq Al-Kindi (800-873 M)

Beliau dikenali di Barat sebagai Alkindus. Al-Kindi merupakan orang pertama yang menetapkan kaedah penetapan dos dalam penggunaan ubat-ubat di zamannya. Beliau merupakan seorang penulis yang hebat dan telah menulis lebih kurang 240 buah buku dalam pelbagai bidang termasuk dalam bidang astronomi 16 buah buku, matematik 11, geometri 32, perubatan 22, fizik 12, falsafah 22, logik 9, psikologi 5 dan lain-lain lagi. Beberapa bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gherard of Cremona. Cardano menganggap Al-Kindi sebagai salah seorang daripada 12 orang pemikir agung di dunia pada zaman pertengahan dahulu.

Abu Abdullah Al-Battani (868 - 929 M)

Al-Battani dikenali di Barat dengan nama Albategnius. Beliau amat terkenal dalam bidang matematik dan astronomi. Antara penemuan beliau yang agung ialah menetapkan tahun syamsiah menepati penemuan pada hari ini, iaitu 365 hari, 5 jam, 46 minit dan 24 saat. Battani juga menonjol dalam bidang trigonometri dan matematik. Beliau memperincikan kaedah kiraan dengan menggunakan konsep sinus dan tangen. Buku-buku beliau dalam bidang astronomi diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad kedua belas di bawah tajuk De scienta stellerum — De numeris stellerum et motibus. Copernicus dalam bukunya, De Revolutionibus Orbium Clestium menyatakan bahawa beliau terhutang budi kepada Al-Battani.

Mohammad Ibn Zakariya Al-Razi (864-930 M)

Beliau dikenali di Barat sebagai Rhazes, Ar-Razi amat menonjol dalam bidang kimia dan perubatan. Beliau merupakan orang yang pertama yang menemui penyakit campak dan cacar. Beliau juga adalah pengasas kepada bidang perubatan kanak-kanak, ibu mengandung dan sakit mata. Buku perubatannya Kitab Al-Mansoori diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada tahun 1480-an di Milan. Buku Al-Hawi merupakan ensiklopedia perubatan yang terbesar pada zamannya dan dikenali sebagai Continens dalam bahasa Latin. George Sarton dalam History of Science mengatakan bahawa Ar-Razi merupakan seorang tokoh perubatan Islam yang paling terkemuka di zaman pertengahan dulu. Pertubuhan Kesihatan Sedunia (WHO) dalam buletinnya pada bulan Mei, 1970 menghargai sumbangan Ar-Razi dengan berkata, ‘Tulisan-tulisannya tentang penyakit cacar dan campak begitu tepat sekali dan tulisan-tulisannya tentang penyakit berjangkit merupakan penulisan yang terawal berhubung dengan tajuk itu’.

Jabir Ibn Haiyan (Meninggal 803 M)

Jabir Ibn Haiyan dikenali sebagai Geber di Barat. Beliau dianggap sebagai Bapa Kimia Moden dan berjaya melaksanakan prosedur-prosedur sains seperti ‘penghabluran, penyulingan, kalsinasi, sublimasi dan penyejatan’. Buku-buku beliau seperti Kitab Al-Kimya dan Kitab Al-Sab'een diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan menjadi begitu popular di Barat selama beberapa abad lamanya. Robert dari Chester menterjemahkan Kitab Al-Kimya dengan tajuk The Book of the Composition of Alchemy pada tahun 1144. Berthelot menterjemah beberapa buku Ibn Haiyan dengan menggunakan beberapa tajuk seperti Book of Kingdom, Book of Balances, dan Book of Eastern Mercury. Beberapa kalimat kimia yang Jabir gunakan masih terkenal hingga ke hari ini seperti alkali dan lain-lainnya. Pemikir Barat, Max Mayerhaff, pernah berkata, pengembangan ilmu kimia moden di Eropah tidak dapat dipisahkan daripada Jabir ibn Haiyan.

Mohammad Bin Musa Al-Khawarizmi (Meninggal 840 M)

Beliau dikenali di Barat dengan nama Algorizm, Khawarizmi amat terkenal dalam bidang ilmu matematik. Beliau adalah pengasas kepada ilmu algebra, malah nama algebra diambil bersempena dengan nama buku beliau Al-Jabr wal-Muqabilah. Dalam bidang trigonometri, beliau mengetengahkan konsep sinus (sine) yang kemudiannya diperkembangkan kepada tangen. Konsep algoritma yang dinamakan mengikut namanya juga diasaskan oleh Khwarizmi. Beberapa bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Adelard of Bath dan Gerard of Cremona pada abad ke-12. Mengikut pemikir Barat, Phillip K. Hitti, Khawarizmi banyak mempengaruhi Barat di sudut ilmu matematiknya mengatasi penulis-penulis lain.

Jika Al-Quran berjaya merangsang umat terdahulu untuk menceburi bidang sains dan teknologi, bagaimana pula dengan kita pada hari ini? Adakah kita berpuas hati sekadar membaca Yasin pada malam Jumaat atau ketika berlaku kematian sahaja? Atau sekadar menggantung ayat-ayat Al-Quran di dinding rumah sahaja? Atau sekadar membaca Al-Quran ketika terdesak dan terpaksa sahaja? Sikap kita terhadap Al-Quran perlu berubah jika kita inginkan kejayaan.

Tuesday, January 16, 2007

karo bocah LABKOM

Jatuh cinta, berjuta rasanya..

"Jatuh cinta berjuta rasanya ...", begitu syair lagu ciptaan Titik Puspa. Konser Dewa, Atas Nama Cinta, dihadiri ribuan penggemar mereka. Album terakhir mereka pun, Cintailah Cinta pun terjual diatas 1 juta copy. Dan entah berapa banyak lagi lagu, kata, ungkapan, syair, puisi yang berbau cinta begitu mengharu biru dunia ini.
Hmm..perasaan jatuh cinta memang sukar dijelaskan dan ditebak, karena penuh dengan gejolak. Semua saran dan nasihat ditolak, bahkan nalar pun bisa terdepak oleh perasaan mabuk kepayang yang membikin rasa melayang-layang. Itulah dahsyatnya perasaan yang satu ini. Gedubrak !!
Apakah karena itu kita tak boleh mencintai dan dicintai? Uups...tentu saja boleh, karena cinta adalah pemberian Allah SWT. Mencintai dan dicintai adalah karunia, sekaligus panggilan hidup kita. Tak pernah merasakan jatuh cinta, bukanlah manusia, karena manusia pasti merasakan cinta [QS Al Imran:14] Bahkan, cinta merupakan ruh kehidupan dan pilar untuk kelestarian ummat manusia.
Islam juga gak phobi sama yang namanya cinta kok, bahkan Islam mengakui fenomena cinta yang tersembunyi dalam jiwa manusia. Namun, bukan dalam komoditas rendah dan murah lho. Artinya, tingkatan mencintai sesuatu itu ada batasnya. Jika cinta itu malah membawanya kepada perbuatan yang melanggar syariat, nah...kore wa dame da!*
Hmm...cinta itu katanya jelmaan perasaan jiwa dan gejolak hati seseorang, wuis...puitis banget! Nah, dalam Islam kalau kita merujuk QS: At Taubah 24, maka cinta dapat dibagi dalam 3 tingkatan, yaitu:
1. Cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya
2. Cinta kepada orangtua, istri, kerabat dan seterusnya
3. Cinta yang mengedepankan cinta harta, keluarga dan anak istri melebihi cinta kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan Allah.
Lalu gimana dong, kalau cinta itu datang, menghampiri dan menggoda di luar pernikahan? Nah lho, puyeng deh kalo gini! Padahal cinta itu kan timbul memang dari sononya, muncul dari segi zat atau bentuknya secara manusiawi wajar untuk dicintai. Normal aja kan, jika memandang sesuatu yang indah, kita akan mengatakan bahwa itu memang indah, masa' sih dibilang jelek!
Menurut Imam Ibnu al-Jauzi, "Kecintaan, kasih sayang, dan ketertarikan terhadap sesuatu yang indah dan memiliki kecocokan tidaklah merupakan hal yang tercela serta tak perlu dibuang. Namun, cinta yang melewati batas ketertarikan dan kecintaan, maka ia akan menguasai akal dan membelokkan pemiliknya kepada hal yang tidak sesuai dengan hikmah yang sesungguhnya, hal seperti inilah yang tercela."
Waduh...gimana dong, lagi jatuh cinta nih! Problem...problem... mana masih kuliah, kerjaan belon ada, masih numpang ama orangtua, wah...nih cinta kok gak pengertian ya!
Kalem dong, jangan blingsatan begitu. Emangnya jatuh cinta masalah kamu aja, ya...gak lagi! Nabi Yusuf a.s. aja pernah jatuh cinta lho, bahkan kepada seseorang wanita yang telah menjadi istri seseorang. Eits...protes deh! Iya deh, kalau bukan cinta, paling gak, tertarik dan terpesona, boleh kan?
Buka deh surat Yusuf, romantika kisah beliau diceritakan dengan tuntas, awal, proses, konflik hingga klimaks dan ending-nya. Nah lho...Nabi aja bias punya 'konflik' seperti itu, apalagi kamu, iya kan? Romantika cinta beliau bukan kacangan, atau pepesan kosong, namun apa yang dialami beliau bisa menjadi pelajaran buat kita bagaimana kalau cinta itu demen banget menggoda kita. Beliau
sadar, dan mengerti betul bahwa itu terlarang, meski ada gejolak di hatinya [QS Yusuf: 24]
Namun...
Kondisi di atas itu gak terjadi begitu aja lho, karena sebelumnya Nabi Yusuf a.s. pun telah berusaha untuk menolaknya saat wanita itu terus merayunya. Eh...nabi Yusuf pun dikejarnya, dan yang dikejar malah lari terbirit-birit, wuus...
Lantas apa dong pelajaran yang bisa kita ambil, saat cinta itu menggoda kita? Pelajarannya adalah:
1. Setiap orang memiliki rasa tertarik dengan lawan jenisnya, perasaan ini manusiawi, fitrah sekaligus anugerah.
2. Namun, gejolak itu harus diatur lho, kalau gak maka kita akan terperosok ke jurang kenistaan, karena diperbudak gejolak jiwanya. Lantas jadi merana deh, angan-angan melulu. Innan nafsa la ammaaratun bis-suu, sesungguhnya nafsu itu selalu mengajak kepada kejahatan kecuali nafsu-nafsu yang diberi rahmat oleh Allah [QS Yusuf:53].
3. Kalau kita jatuh cinta pada lawan jenis, dan mengharapkan terbalaskan cintanya, maka saat itu ada sebagian dari akal dan logika yang hilang. Sekian banyak pertimbangan akal sehat yang dipunyai jadi
ngadat, gak jalan! Gak percaya? Coba deh, ntar kalau kamu tambah dewasa, udah nikah, mungkin mikir, "Kok, dulu begitu ya?", "Kok, dulu gak mikir ya?", dan "kok-kok" yang lain.
4. Dulu waktu ngejar-ngejar, wah...dimana-mana hanya terpampang wajah dia seorang, kekasih hati. Tidur gak nyenyak, makan pun terasa gak enak, bukan karena banyak nyamuk atau lauknya gak enak, dunia ini pun hanya untuk berdua, yang lain ngontrak, ck...ck...ck... Kalau gak ketemu, rasanya gimana gichuu. Dikejar setengah mati deh, pokoke mesti dapet! Tapi begitu udah dapat, lalu masuk dunia rumah tangga, gejolak itu bisa berganti dengan rutinitas dan bias bosan. Itulah sifat manusia, karena itu bila mencintai seseorang, cintailah sewajarnya, siapa tahu ntar kamu benci padanya. Begitu juga sebaliknya, kalau benci, bencinya yang wajar aja deh, siapa tahu ntar malah aishite iru*
5. Ingat lho, gak semua yang kita inginkan itu harus terpenuhi, kalau gak mau dibilang egois. Tidak semua cita-cita itu harus terkabul, dan tidak pula semua gejolak harus dituruti. Di dunia ini ada banyak pilihan, kalau gak dapat yang satu, pilihan lain masih banyak kan? Siapa tahu malah lebih baik. Makanya buka mata lebar-lebar, masa' sih cuma ada dia aja di dunia ini, emang yang lain kemana bo!
6. Tidak semua yang kita anggap baik itu baik, dan tidak semua yang dianggap indah itu indah. Segala sesuatu itu pasti ada cacat dan cela-nya. Saat jatuh cinta sih, wuah...indah buanget, tiada cacat dan cela.
Padahal bisa aja kan, cacat dan cela itu jauh lebih banyak dari baik dan indahnya.
7. Akhirnya, kalau kamu udah sampai pada puncak cinta, yaitu pernikahan, ingat deh kalo puncak masalah pernikahan itu bukanlah pada siapa yang akan jadi pasangan kita, tapi gimana agar kita bisa survive di dalamnya, siapapun pasangan kita.
Semoga membantu akhi wa ukhti, jangan lupakan Allah SWT kalau antum jatuh cinta ya. Jatuh cinta-lah karena Allah SWT, karena kasih sayangnya akan meluruh ke jiwa.
Wallahu a`lam bis-

KARAKTERISTIK AYAH

Oleh: Rudy Himawan
Seorang Muslim sudah semestinya memikirkan masa depan dengan melakukan invesment bukan dengan stock portofolio, 401K, rumah ataupun saving account, tetapi dengan shodaqoh jariyah, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, dan membina anak yang sholeh/-ah. Ketiga aktivitas ini ternyata tercakup dalam proses pendidikan anak dan apalagi Alhamdulillah banyak diantara kita yang telah dikaruniai anak, sehingga saya tergerak untuk merangkum 6 karakteristik kepribadian seorang ayah idaman.
1. Keteladanan
Suatu pagi, saya terperanjat ketika melihat cara putriku memakai sepatunya. Ia langsung memasukkan kakinya ke dalam sepatu tanpa melepas talinya. Rupanya selama ini ia memperhatikan bagaimana cara saya memakai sepatu. Karena malas membuka simpul tali sepatu, sering kali saya langsung memakainya tanpa membuka dan mengikat simpul tali sepatu. Saya berusaha melarangnya dengan memberikan penjelasan bhw cara memakai sepatu seperti itu bisa mengakibatkan sepatu cepat rusak. Namun hasilnya nihil. Ini merupakan satu contoh nyata bhw anak, terutama pada usia dini, mudah sekali mencontoh orangtuanya. Tidak perduli apakah itu benar atau salah. Nasehat kita tidak ada manfaatnya, jika kita tetap melakukan apa yang kita larang.
Apakah kita sudah memberikan teladan yang terbaik kepada anak-anak kita? Apakah kita lebih sering nonton TV dibandingkan membaca Al-Quran atau buku lain yang bermanfaat? Apakah kita lebih sering makan sambil jalan dan berdiri dibandingkan sambil duduk dengan membaca Basmallah? Apakah kita sholat terlambat dengan tergesa-gesa dibandingkan sholat tepat waktu? Apakah bacaan surat kita itu-itu saja?
Allah SWT berfirman dalam surat ash-shaff 61:2-3:
"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. "
Allah SWT juga mengingatkan untuk tidak bertingkah laku seperti Bani Israil dalam firmanNya dalam surat Al-Baqoroh 2:44 "Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?"
2. Kasih Sayang dan Cinta
Kehangatan, kelembutan, dan kasih sayang yang tulus merupakan dasar penting bagi pendidikan anak. Anak-anak usia dini tidak tahu apa namanya, tapi dengan fitrahnya mereka bisa merasakannya. Lihatnya bagaimana riangnya sorot mata dan gerakan tangan serta kaki seorang bayi ketika ibunya akan mendekap dan menyusuinya dengan penuh kasih sayang. Bayi kecilpun sudah mampu menangkap raut wajah yang selalu memberikan kehangatan, kelembutan, dan kasih sayang dengan tulus, apalagi mereka yang sudah lebih besar.
Rasulullah SAW pada banyak hadisth digambarkan sebagai sosok ayah, paman, atau kakek yang menyayangi dan mengungkapkan kasih sayangnya yang tulus ikhlas kepada anak-anak. Sebuah kisah yang menarik yang diceritakan oleh al-Haitsami dalam Majma'uz Zawa'id dari Abu Laila.
Dia berkata: "Aku sedang berada di dekat Rasulullah SAW. Pada saat itu aku melihat al-Hasan dan al-Husein sedang digendong beliau. Salah seorang diantara keduanya kencing di dada dan perut beliau. Air kencingnya mengucur, lalu aku mendekati beliau. Rasulullah SAW bersabda, 'Biarkan kedua anakku, jangan kau ganggu mereka sampai ia selesai melepaskan hajatnya.' Kemudian Rasulullah SAW membawakan air."
Dalam riwayat lain dikatakan, 'Jangan membuatnya tergesa-gesa melepaskan hajatnya.'
Bagaimana dengan kita?
Sudahkan kita ungkapkan kecintaan kita yang tulus kepada anak-anak kita hari ini?
3. Adil
Siapa yang belum pernah dengar kata sibling rivalry dan favoritism? Jika belum dengar, maka ketahuilah! Siapa tahu kita termasuk orang yang telah melakukannya. Seringkali kita terjebak oleh perasaan kita sehingga kita tidak berlaku adil, misalnya karena anak kita yang satu lebih penurut dibandingkan anak yang lain atau karena kita lebih suka anak perempuan daripada anak laki-laki dll.
Rasulullah SAW bersabda: "Berlaku adillah kamu di antara anak-anakmu dalam pemberian." (HR Bukhari)
Masalah keadilan ini dikedepankan untuk mencegah timbulnya kedengkian diantara saudara. Para ahli peneliti pendidikan anak berkesimpulan bahwa faktor paling dominan yang menimbulkan rasa hasad/ dengki dalam diri anak adalah adanya pengutamaan saudara yang satu di antara saudara yang lainnya.
Anak sangat peka terhadap perubahan perilaku terhadap dirinya. Jika kita lepas kontrol, sesegera mungkin untuk memperbaiki, karena anak yang diperlakukan tidak adil bisa menempuh jalan permusuhan dengan saudaranya atau mengasingkan diri (menutup diri dan rendah diri).
4. Pergaulan dan Komunikasi
Seringkali kita berada dalam satu ruangan dengan anak-anak, tapi kita tidak bergaul dan berkomunikasi dengan mereka. Kita asyiik membaca koran, mereka asyiik main video game, atau nonton TV.
Banyak ahadith yang menggambarkan bagaimana kedekatan pergaulan Rasulullah SAW dengan anak-anak dan remaja. Beliau bercanda dan bermain dengan mereka.
Bagaimana dengan kita yang sudah sibuk kuliah sambil bekerja plus 'ngurusin' IMSA (**smile**)? Mana ada waktu untuk bercengkrama dengan anak-anak? Sebenarnya ada waktu, jika kita mengetahui strateginya. Misalnya, sewaktu menemani anak bermain CD pendidikan di komputer, kita bisa menjelaskan cara mengerjakan/bermainnya, lalu memberi contoh sebentar, lantas bisa kita tinggalkan. Begitu pula dengan buku bacaan dan permainan lainnya. Repotnya ada sebagian ayah yang tidak mau berkumpul dengan anak-anak, terutama yang menjelang dewasa karena takut kehilangan wibawa atau kharismanya. Ini pandangan yang keliru. Yang lebih tepat adalah kita jaga keseimbangan, artinya kita tidak boleh terlalu kaku dalam memegang kekuasaan dan kharisma, tetapi juga tidak boleh terlalu longgar.
5. Bijaksana Dalam Membimbing
Rasulullah SAW bersabda: "... Binasalah orang-orang yang berlebihan..." (HR
Muslim). Jadi metoda yang paling bijaksana dalam mendidik dan mengarahkan anak adalah yang konsisten dan pertengahan - seimbang, yakni tidak membebaskan anak sebebas-bebasnya dan tidak mengekangnya; jangan terlalu sering menyanjung, namun juga jangan terlalu sering mencelanya. Bila ayah memerintahkan sesuatu kepada anaknya, hendaknya ayah melakukannya dengan hikmah, penuh kasih sayang, dan tidak lupa membumbuinya dengan canda seperlunya. Jelaskan hikmah dan manfaatnya, sehingga anak termotivasi untuk melakukannya. Jangan lupa juga untuk memperhatikan kondisi anak dalam melaksanakan perintah atau aturan tersebut.
Imam Ibnu al-Jauzi mengatakan bahwa melatih pribadi perlu kelembutan, tahapan dari kondisi yang satu ke kondisi yang lain, tidak menerapkan kekerasan, dan berpegang pada prinsip pencampuran antara rayuan dan ancaman.
6. Berdoa
Para nabi selalu berdoa dan memohon pertolongan Allah untuk kebaikan keturunannya.
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala." (Ibrahim:35)
"Segala puji bagi Allah yang telah menganugrahkan kepadaku di hari tua(ku)Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan sholat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku." (Ibrahim:39-40) ---------------------------------------------------------
"Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa Rabbahu"
"Barangsiapa mengenal nafsnya sungguh akan mengenal Rabbnya"