Followers

Monday, September 27, 2010

Istriku Sayang

[[Senin pagi-siang, 27 September 2010 @ ruang perenungan]]

[  Kisah ini hanyalah fiksi tapi terinspirasi dari kisah asli. Kalau ada kesamaan nama tokoh, nama tempat, karakter, warna celana, motif baju, merk motor, model HP, dan lain sebagainya mungkin saja di sengaja mungkin saja tidak sengaja. Harap maklum ]
=========================================


Malam itu tak seperti malam-malam biasanya. Perasaan kedua orang itu gembira setengah mati. Aneh sungguh aneh, padahal malam itu alam sedang tidak bersahabat. Hujan turun seperti air terjun tak terbendung, bertepuk dengan atap rumah mereka yang sebagiannya dari seng terdengar bagai berondongan AK-47 milik densus 88 saat menggerebek orang-orang yang kata penyiar berita adalah gerombolan teroris. Ditambah suara gemuruh halilintar sekali dua kali dan berkali-kali menambah suasana desa yang berada ditengah hutan itu semakin terasa mencekam seperti menonton film perang dunia kedua. Suara jangkrik, burung malam, dan serangga-serangga hutan yang menenteramkan kali ini tak terdengar tapi suasana hati Parjo dan Sri lebih dari sekedar tenteram. Ternyata sepasang suami-istri itu baru pulang dari kota tadi siang, memeriksakan kandungan ke bu Dokter seperti saran bu RT beberapa hari yang lalu.

“Kang, semoga benar ya apa yang dikatakan bu dokter tadi siang”

“Harusnya bener lah Sray”, jawab Parjo kepada istrinya. Sray adalah panggilan sayang Parjo kepada Sri, istirnya. Dia hanya ikut-ikutan orang-orang di TV memanggil kekasihnya dengan Say. Tapi nama istrinya adalah Sri, dia sengaja menambahkan huruf ‘r’ ditengah-tengah supaya lebih beda dan terasa lebih unik baginya.

“Bu dokter kan sudah sekolah bertahun-tahun, apalagi dia punya alat yang di tempel-tempelkan di perutmu tadi. Canggihnya itu alat, bayi kita yang masih didalam perutmu saja sampai Bu dokter bisa tahu”, Parjo semakin meyakinkan istrinya.

“Kalau bener anak kita nanti laki-laki, bapak sama bue pasti seneng banget ya Kang”, Sri tersenyum lebar tampak gembira dengan berita dari bu Dokter tadi siang. Meskipun tulang punggungnya serasa mau copot berjam-jam di bonceng motor suaminya. Pagi-pagi sekali berangkat ke kota dan petang baru sampai lagi di desa mereka tercinta. Lewat jalan panjang tengah hutan, kadang hanya batu dan pasir yang di tata seadanya. Kadang lewat jalan seperti kubangan kerbau yang licin tiada duanya. Kalau malam gelap gulita. Jangankan lampu penerangan jalan, bulan saja tidak setiap malam mau membagi cahayanya. Itulah jalan satu-satunya akses ke desa mereka.

****
Setelah sembilan malam berlalu. Malam ini tak seperti malam sepuruh hari yang lalu. Adzan isya’ baru saja selelesi dikumandangkan, tapi serangga-serangga hutan sudah bersahut-sahutan. Burung-burung malam pun tak mau ketinggalan. Mereka memang tak seperti Beo, Bentet, atau Nuri yang dipelihara di perkotaan. Mereka memang tak bisa menirukan suara kendaraan atau menyebut nama majikan. Suara mereka hanya ‘cuit… cit…cuit…' tapi benar-benar menebarkan kedamaian. Kedamaian mereka, kedamaian alam mereka yang masih tenang, dan kedamaian sahabat-sahabat mereka para penduduk desa di tengah hutan.

“Kamu kenapa Sray?”, tanya Parjo kepada istrinya yang nampak aneh tak seperti biasanya.

“perutku tiba-tiba sakit Kang.”
“Apa anak kita nakal lagi?”

“rasanya tidak seperti biasanya Kang. Kali ini rasanya lebih sakit dan berat sekali.”

Parjo terlihat menghitung-hitung jarinya, kemudian bola matanya berputar ke atas sebentar sambil mulutnya komat-kamit. Sesaat kemudian berkata kepada istrinya,

“kalau sesuai dengan yang di katakan bu Dokter, harusnya kan masih sepuluh hari lagi dari sekarang”. Ternyata Parjo barusan sedang menghitung hari tapi tak seperti Krisdayanti.

Sri meminta suaminya untuk mengantarnya ke kamar. Kemudian Sri minta di bantu berbaring di dipan kayu sederhana yang setiap malam mereka tidur dengan nyaman disana. Dia harap ini hanya sakit biasa karena tendangan bayinya seperti kemarin-kemarin, semakin yakin karena hasil hitungan suaminya tadi. Menurut perkiraan dari bu dokter, kalaupun maju atau mundur paling sekitar seminggu atau tujuh hari. Kang Parjo tadi kan bilang masih sepuluh hari lagi dari perkiraan dokter. Harusnya belum hari ini, terlalu cepat pikirnya.
Setelah beberapa saat berbaring, bukannya semakin nyaman malah rasa sakit si Sri semakin menjadi. Mulutnya mulai merintih-rintih kesakitan. Parjo yang menunggu disampingnya terlihat semakin panik dan gelisah. Dia bingung harus melakukan apa karena itu pengalaman pertamanya akan punya anak. Tiba-tiba dia berlari keluar rumah. Dalam waktu yang tidak lama Parjo sudah tiba lagi di samping istrinya dengan bu RT dan beberapa tetangga.

“Kalau seperti ini berarti sudah saatnya Jo. Kenapa belum juga kau bawa istrimu mondok di PUSKESMAS seperti saranku kemarin. Cepat sana kau telpon Bidan kecamatan untuk datang kesini. Nggak mungkin kalau istrimu yang dibawa ke kecamatan dengan kondisi begini apalagi jalan jelek kesana bisa membahayakan istrimu dan bayinya”, perintah bu RT kepada Parjo dengan perasaan jengkel bercampur kasihan juga gelisah.

“Tapi saya tak punya HP bu”, jawab Parjo semakin bingung dan panik.

“Waduh… ya pinjam Pak RT segera sana. Pak RT juga punya nomer telpon PUSKESMAS.”

Tanpa pikir panjang Parjo segera lari secepat atlit lari nasional. Beberapa menit kemudian dia sudah sampai di rumah lagi.

“Gawat bu RT, setelah saya telpon bu Bidannya tidak mau datang kesini. Katanya mobil dinas PUSKESMAS sedang keluar dan dia tidak sanggup kalau kesini naik motor malam-malam. Dia minta istri saya yang dibawa ke PUSKESMAS”, ucap Parjo kepada bu RT dengan nafas tersengal-sengal. Dia lihat kondisi istrinya semakin menyayat hatinya. Tak tega dia melihat istrinya si Sray tercinta merintih kesakitan.

“Dasar bidan muda, tak seperti para pendahulunya. Kalau ketemu biar saya damprat dia. Kalau begitu segera kau jemput mbah Jinem, dia dukun yang biasa membantu persalinan di desa Wonorejo. Semoga saja dia masih bisa membantu istrimu.”, perintah bu RT ke Parjo dengan nada semakin tinggi karena kesal dengan sikap sang Bidan.

Karena jalan yang tidak bersahabat, Parjo baru sampai di rumah mbah Jinem satu jam kemudian. Dia agak ragu melihat mbah Jinem yang sudah sangat berumur. Bicaranya sudah tidak jelas karena gigi hanya beberapa saja tersisa. Tapi mbah Jinemlah harapannya satu-satunya. Sesegera mungkin dia memboncengkan mbah Jinem menuju rumahnya. Lagi-lagi karena jalan, ditambah memboncengkan seorang yang sudah tua, Parjo sampai dirumahnya sedikit lebih lama. Tepat tiga jam setelah sholat isya’ tadi, tepat tiga jam setelah mulai merasakan sakit diperutnya, si Sri baru tersentuh bantuan dari Mbah Jinem.

Satu jam di pandu oleh mbah Jinem, sang bayi tak juga segera kelihatan. Tak tahu kenapa, apakah karena instruksi mbah Jinem kurang jelas di dengar oleh Sri. Sehingga kalimat yang seharusnya “tarik nafas dalam-dalam”, kedengaran seperti “tai ampas ayam-ayam”. Atau mungkin karena tenaga Sri sudah habis karena bantuan datang terlalu lama. Wajah Sri semakin pucat, sekujur tubuhnya basah dipenuhi keringat. Nafasnya tinggal sisa-sisa, tak seperti sebelumnya. Mbah Jinem pun tak bisa berbuat banyak karena peralatannya hanya seadanya. Suara yang diucapkannya pun juga seadanya. Tak lama kemudian, pukul 23.40, nafas Sri sudah tak tersisa. Suaranya, detak nadinya, detak jantungnya, satu persatu mulai pergi entah kemana. Sri telah tiada. Karena peralatan seadanya, sang bayi pun tak bisa diselamatkan dan menyusul ibunya. Sang bayi juga telah tiada sebelum tiba di dunia.

Parjo tak mampu menahan sesak dalam dadanya, di sudut kamar dia terisak lama. Bahagia beberapa hari yang lalu seketika berubah menjadi derita luar biasa yang tak tahu apa sebab semuanya.
Mungkin salah bu Dokter meramal HPL, tak sehebat sang gurita meramal Spanyol lawan Belanda.
Mungkin salah pemerintah yang tak peduli rakyat jelata. Tak mau memperbaiki jalan desanya, sehingga pergi ke pusat kecamatan yang seharusnya bisa di tempuh setengah jam menjadi lebih dari dua jam perjalanan yang mengerikan.
Mungkin salah pemerintah lagi tak mau membangun PUSKESMAS cabang pembantu di desanya.
Mungkin salah para anggota dewan yang tak bisa memperjuangkan pendidikan gratis, sehingga dia hanya bekerja sebagai buruh tani, penghasilan seadanya dan tak mampu menginapkan istrinya di PUSKESMAS jauh-jauh hari sebelumnya. Anggota dewan hanya pusing memikirkan megaproyek pembangunan gedung DPR di Jakarta sana.
Mungkin salah panitia penerimaan CPNS yang tak pecus menyeleksi bidan dan pegawai pemerintah lainnnya. Atau mungkin salah sang bidan muda yang manja tak mau ke desa menolong persalinan istrinya.
Tapi yang jelas, yang terjadi adalah takdir Tuhan supaya semuanya mau mengambil pelajaran berharga

No comments: