Followers

Thursday, December 18, 2008

Partai Keadilan VS Partai Keadilan Sejahtera
(di ambil dari : http://mdianapriyanto.wordpress.com/)

Teng, tong, teng, tong.. “Diberitahukan kepada penumpang kereta Argo Bromo jurusan Surabaya, agar menuju ke peron 3 karena kereta sebentar lagi akan memasuki stasiun”, suara pengumuman yang cukup keras itu membuyarkan lamunan saya. Saya sendiri bukan mau naik kereta itu tapi sedang menunggu kereta lain jurusan.

* * *

Saya kemarin mendapat imel dari seseorang yang mana dia mengirimkan kepada saya tentang 8 alasan mengapa memilih PKS. Mengapa delapan? Yah, mungkin terkait dengan nomor urut PKS yang memang bernomor 8.

Awalnya saya menganggap bahwa ini iklan politik. Saya coba baca isinya dan saya membenarkan isi dari imel itu. Memang 8 (walau terkesan dipaksakan) alasan itu menampilkan sisi-sisi kebaikan PKS, yang mana saat deklarasi pendiriannya dulu (saat itu masih bernama PK) di masjid Al-Azhar, saya berdua dengan kawan yang mensyut acara itu, lalu mengedit filmnya, saya tambahkan opening title di awalnya.

Saya ingat betul video itu diedit ‘masih kasar’ karena belum ada program editing yang mudah digunakan dan komputer juga belum sebagus sekarang. Jadi cara mengedit dengan menggunakan tape to tape, cara analog. Wah, pokoknya ribet asli deh.

Lagu pembukanya menggunakan soundtrack dari film Batman Returns (hehehe.. lagi-lagi Batman, yah) dan film itu diberikan narasi juga oleh kawan saya. Pun dalam video itu dibuat cerita bahwa, ‘bermula dari kesuksesan partai Refah di Turki, bla bla bla’ dan voila, jadilah sebuah video promosi. Video itu kemudian dikopi dan disebarkan ke seluruh Indonesia (kalau tidak salah begitu deh ya). Nah, itulah video pertama yang kami berdua kerjakan.

* * *

Kembali ke bumi setelah mengawang-awang bernostalgia.

Saya membayangkan diri saya sekarang ini sedang menunggu sebuah partai yang dulu pernah menjadi kereta dengan gerbong eksklusif (bukan eksekutif), dimana kereta itu bagus tampaknya dari luar dan nyaman saat di dalamnya.

Saya bayangkan juga sebuah kereta ekonomi, dimana semua orang bahkan kambing sekalipun duduk bareng bersama dalam satu gerbong. Para pedagang bersliweran menjajakan entah itu makanan, sampai kipas mini bertenaga batere. Maklum, hawanya lebih panas karena semuanya masuk berjubel.

Beda dengan kereta yang di awal, dimana isi penumpangnya sedikit dan kereta jauh lebih nyaman karena tidak ada pedagang yang masuk, kambing tidak ikut naik dan berpendingin udara, sehingga lebih sejuk.

Saya membandingkan antara PK dan PKS, maka saya mendapatkan kenyataan yang seperti itu. PK dulu adalah partai yang ‘eksklusif’ karena hanya orang-orang yang ikut ‘pengajian’, ikut tarbiyah, ikut halaqoh dan sebagainya yang lantas mereka menjadi pondasi massa, yang menjadi grass root bagi partai yang mulai saat dideklarasikan sampai sekarang ini masih tetap fenomenal dan kadang kontroversial.
Saat masih eksklusif

Saat itu sepertinya masa keemasan dan masa kejayaan bagi PK, karena pada waktu itu semuanya baik. Semua bahu membahu berjuang agar PK bisa menjadi partai yang ‘lain daripada yang lain’, dimana yang tampil adalah wajah-wajah muda nan segar yang menjadi pemimpin serta anggotanya.

Tampil orang-orang muda terpelajar yang cerdas, bersih, jujur, bisa dipercaya dan juga enak saat diajak bicara, karena bahasan mereka lugas dan mendalam. Tidak terkesan sebagai partai cemen yang berisi orang-orang cuma iseng bikin partai, karena kesempatan mendirikan partai saat itu dibuka lebar-lebar oleh pemerintah.

Tokoh-tokoh muda yang tampil selama ini memang sudah dikenal di kalangan mereka sebagai orang yang berpengetahuan luas, seorang ustadz yang biasa bicara masalah agama dan lancar bicara masalah politik. Bukan sekedar ustadz karbitan dan politikus oportunis, yang menggunakan pesona dan kharisma untuk menjaring massa. Bahkan kebanyakan dari mereka malah tidak dikenal oleh banyak orang dan hanya ‘untuk kalangan sendiri’.

PK pada saat itu tampil seolah ‘melawan arus’, melawan kebiasaan. Entah itu memang sekedar manuver politik, atau memang mereka menciptakan brand image tersendiri, menciptakan trendsetter yang lain daripada yang lain.

Hal itu seolah menjadi pedang bermata dua. Di sisi lain orang memuji ‘gerakan moral’ yang dilakukan oleh PK sementara di sisi lain tindakan ‘di luar manuver politik’ dimana PK dikenal sebagai ‘partainya anak muda militan’, yang suka membid’ahkan ‘ritual-ritual keagamaan’ seperti tahlilan, yasinan dan sebagainya. Cap miring pengikut ‘wahabi’, bukan Islam, bukan NU, bukan Muhammadiyah, pokoknya yang bukan-bukan, menjadikan PK bukan sebagai partai pilihan dan idaman.

Tapi, bukannya PK ditinggalkan, malah makin bertambah penggemarnya. Rupanya gerakan moral seperti para politisi PK tidak ada yang terlibat korupsi, perilaku kehidupan mereka yang jauh dari kesan glamour dan seperti mau menghabiskan uang rakyat. Bahkan dalam banyak kasus, kesan sederhana yang selalu ditonjolkan oleh beberapa orang teman saya yang sempat mengenyam bangku wakil rakyat, itu memang menjadi promosi efektif dalam membangun kepercayaan orang kepada mereka dan kepada partai.

Segala kesantunan para politisi PK yang selama ini tidak pernah tampil dari partai lain, seolah menjadi sebuah ukuran bahwa, ‘politik itu kotor, tapi bukan berarti politisi harus ikut menjadi kotor’. Mereka membawakan politik, partai, politisi seolah seperti saat mereka sedang berceramah, seperti mereka sedang mengkaji sebuah topik dalam pengajian. Dan itu semua menjadi daya tarik yang cukup besar bagi rakyat yang sudah muak dengan segala janji penuh tipu daya dan rayuan maut dari partai dan politisi yang mengatasnamakan rakyat tapi hidup makmur dari uang rakyat.
Menurunkan harga untuk menjaring penumpang

Setelah berjalan sekian lama, keadaan kehidupan perpartaian yang berfilosofi ‘tidak ada musuh abadi, tidak ada teman abadi, yang ada kepentingan pribadi’ mulai tampak ke permukaan dari PK yang telah berganti nama menjadi PKS.

Oh iya, mengapa diubah dari PK menjadi PKS? Karena sesuai peraturan yang waktu itu berlaku, PK tidak mencapai electoral threshold atau batas minimal partai bisa ikut pemilu (lagi). Karena terpaksa harus dibubarkan, maka sengaja PK dibubarkan dan kemudian para pengurusnya membuat lagi partai dengan nama yang sama dan ditambahkan kata ‘Sejahtera’ supaya tidak sama.

Logo pun diganti dengan yang lebih ‘manis’, lebih ‘manusiawi’ atau sesuai dengan kata ‘Sejahtera’, sehingga logo yang awalnya pedang membelah bulan (artinya harus adil dalam membagi) diganti menjadi ada simbol kesejahteraan, yaitu gambar padi di tengah-tengahnya. Jadi arti lambang itu ialah harus adil dalam membagi-bagi kesejahteraan.

Oke, lalu maksudnya dengan menurunkan harga itu apa? Ya, PKS mulai menjadi partai yang ‘tidak kaku’, lebih fleksibel, bisa menerima keberagaman, tidak cuma dari kalangan ikhwah, kalangan tarbiyah juga bukan cuma menerima koalisi dari partai ’seiman’ atau partai yang visi misinya melulu ‘Islam’.

PKS pelan-pelan mulai membangun kekuatan dengan menjalin koalisi dengan banyak partai lain, walau bukan sembarang partai dan tidak asal partai gurem. PKS mulai menampilkan citra yang lebih lunak, lebih membumi, lebih bergaul dan juga ‘bisa diterima oleh semua kalangan’.

Kompensasi yang harus diterima ialah, bahwa PKS yang dulu berasal dari sebuah partai eksklusif PK, dimana ibarat gerbong kereta eksklusif, maka isi penumpang cuma sedikit karena peminatnya dari kalangan terbatas. Gerbong itu sejuk dan bersih, karena isinya ‘orang’ semua. Semua itu membutuhkan biaya perawatan yang mahal dan karena penumpangnya sedikit, harganya menjadi mahal dan itu berakibat sulit terjangkau bagi orang-orang biasa.

PKS sekarang seperti menawarkan sebuah gerbong ekonomi. Dan karena harga yang murah, menyebabkan siapa saja pun bahkan kambing sekalipun boleh naik ke dalam gerbong. Belum lagi para pedagang yang berseliweran. Tapi apa yang didapat dengan ‘menurunkan harga’ seperti itu? Penumpangnya malah berjubel.

Apa artinya perumpamaan ini? Karena PKS kini menjadi partai yang terbuka, tidak eksklusif lagi, siapapun bisa naik ke dalam PKS bahkan seekor kambing pun..! Para oportunis yang ibarat pedagang yang mencoba mencari-cari peluang yang siapa tahu mereka bisa mendapatkan keuntungan dari ‘para penumpang’.
Apakah itu salah?

Nah, ini pertanyaan yang sulit dijawab sekaligus mudah dijawab.

Sulit, bila kita mengedepankan emosi dan rasa sentimen. Mudah, bila kita memang memahami hakikat suatu partai yang sejatinya partai itu harusnya bisa menampung segala aspirasi, segala lapisan, segala bentuk manusia, segala bentuk kehendak serta partai itu memang semestinya tidak menjadi milik satu golongan atau satu orang saja.

Yang namanya partai, dimana jumlah suara pemilih terbanyaklah yang menentukan partai itu menang apa tidak. Hal itulah yang sering menjadikan sebuah partai yang awalnya dibangun dengan idealis sekalipun, pada akhirnya harus tunduk pada kenyataan pasar. Ada permintaan maka ada penyediaan.

Memandang bahwa pemilih potensial hanyalah mereka yang berjenggot, yang ikhwah, yang ikut tarbiyah, maka itu adalah sebuah jalan pemikiran yang naif, menurut saya lho.

Memang, demi menjaring pemilih dari kalangan manapun, golongan manapun, maka mau tidak mau PKS harus menjadi partai terbuka seperti itu. Dan tindakan itu bagi saya masih sangat bisa dibenarkan. Asalkan tetap ada kendali, tetap ada pengarahan, ada rambu-rambu dan ‘para pengawas serta satpam’ juga tetap dengan tidak lelah-lelahnya untuk selalu mengarahkan PKS ini ‘ke jalan yang lurus’.

Siapa lagi mereka itu, kalau bukan para kader yang dengan senang hati, sukarela bukan paksarela, mau mengorbankan diri dan hartanya demi kelangsungan hidup partai yang sangat mereka dambakan dan banggakan.

Saya mengacungkan jempol, eh dua jempol, kepada mereka yang tetap dengan setia terus mengusung partai yang saya merasa ‘ikut-ikutan mendeklarasikannya’.
Lalu soal kelakuan para politisinya?

Marilah kita pisahkan antara partai dan politisi. Saya tahu bahwa seorang Anis Matta itu memang ’sudah kaya’ sebelum dia menjadi seseorang di PKS. Dari hasil dia bekerja, wajar saja bagi saya bila dia punya mobil mewah. Saya dengar bahwa beliau menyumbangkan mobil Avanza miliknya demi kepentingan dakwah Al-Manar. Bukankah itu sudah mencukupi dan kita anggap itu buah rasa syukur dia?

Eh.. eh.. kok saya jadi seperti membelanya ya? Apa ada ‘main-main’? Sumpah demi Allah, tidak ada. Kenal secara pribadi juga tidak. Saya tahu siapa dia, tapi dia tidak pernah kenal saya.

Ahmad Heryawan, yang dulu saya tahu bagaimana saat masih ikut liqo datang dengan segala kesederhanaannya, tapi sekarang coba lihat? Sudah jadi gubernur dia. Sudah biasa naik turun mobil. Sudah lupa sama teman satu liqo nih? Nggak..

Tapi, apa salah Anis Matta, kalau dia menjadi kaya? Apa salah Ahmad Heryawan menjadi seorang yang kaya? Apa harus selamanya sederhana seperti saat dia dulu masih liqo sama kita-kita? Hmm.. tidak juga menurut saya.

Saya sih belum pernah mendapat cerita bahwa kedua orang itu menjadi petantang petenteng mentang-mentang sudah jadi orang kaya, sudah jadi anggota legislatif, sudah punya kedudukan dan sebagainya.

Walaupun cerita miring tentang perilaku mereka yang ’sok kaya’ itu yang banyak terdengar, tapi itu bukan berarti mereka sejelek itu. Memang sih, mereka sudah jadi orang penting, tapi tidak pernah sedikitpun saya mendengar mereka korupsi, misalnya. Saya tidak pernah mendengar mereka menyalahgunakan jabatan mereka untuk ‘kegiatan memperkaya diri mereka’.
Penutup

Maaf, tulisan ini saya tutup sampai di sini. Maaf, bila saya sengaja mengesankan saya membela mereka. Maaf, bila ada yang merasa bahwa kini PKS sudah tidak ’seindah yang dulu’. Maaf bila maaf saya tidak berkenan bagi semua orang.

Saya hanya ingin menggugah semua orang yang membaca tulisan saya, bahwa memang PKS telah berubah menjadi partai yang sesuai dengan habitatnya sebagai sebuah partai.

Saya mendengar banyak sekali keluhan mereka yang tidak puas, yang kecewa, yang menghujat, yang ingin agar PKS kembali seperti dulu, partai yang berjalan sesuai dengan marhalah dakwah.

Untuk hal itu, saya cuma bisa bilang begini : kenapa tidak kita bikin satu jama’ah yang rapih? Yang bisa selalu tampil untuk menyerukan kebenaran dan meluruskan setiap penyimpangan?

PKS kini telah berubah menjadi majmu’ah (kumpulan orang) yang masing-masing berada dalam satu gerbong yang sudah tidak seeksklusif dulu.. Dan untuk hal itu saudaraku.. terimalah.. Dan tetaplah untuk menjadi petugas pengawas jalur agar PKS terus tetap berada ‘di jalur yang lurus’.

Insya Allah.. Aamiin.. Wallahu a’lam..

credit :

dari judul gerbong ekslusif PKS yang ditulis oleh H.N. Dewantara dari warnaislam.com

No comments: